CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 18 September 2016

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu: Refleksi Makna Kehilangan

Aku tidak akan menulis panjang tentang buku ini. Karena aku sama sekali tidak mahir menulis review, menilai karya orang. Tapi aku akan menulis ulasan mengenai buku ini sebagai seorang pembaca, penikmat kisah-kisah kaya makna.

Judulnya Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Terdengar indah dan romantis, bukan? Bahkan pada awalnya kupikir ini adalah novel romens Tere Liye ke sekian. Nyatanya aku salah. Ini bukan kisah cinta sepasang anak manusia. Tapi ini adalah kisah seorang anak manusia dengan Tuhannya.

Setelah menamatkan novel ini hingga halaman terakhir, aku pun mengerti hakikat dari judul itu. Mungkin seharusnya bukan Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Tapi Rembulan Tenggelam Di Wajah-Mu.

Ini adalah kisah perjalanan hidup. Perjalanan yang amat panjang dan berat, juga pahit, dari seorang anak manusia. Mengenai pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidupnya.

Seorang laki-laki tua bernama Ray, terbangun dari koma untuk dibawa kembali ke masa lalu, menapaki jejak-jejak kisah kehilangan, rasa sakit, serta pertanyaan-pertanyaannya yang belum pernah terjawab. Hidupnya yang penuh dengan ketidakberuntungan sejak kecil, membuatnya beranggapan hidup begitu tidak adil. Teganya takdir merenggut kebahagian yang bahkan hanya sedikit dia miliki. Betapa Tuhan tidak mempedulikannya. Dalam perjalanannya kembali ke masa lalu, pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengungkung hatinya pun terjawab satu demi satu.

Secara teknis penulisan dan gaya bahasa, aku tidak akan berkomentar lagi. Dengan ciri khasnya Tere Liye yang membawa larut semua perasaan pembaca ke dalam cerita, bahkan typo sepanjang kalimat pun boleh jadi tidak bakal terhiraukan. TL memang berbakat soal itu.

Aku juga akan mengabaikan absurdnya tokoh pria berwajah menyenangkan yang sepanjang cerita menemani Ray menjejaki masa lalunya. Tidak diceritakan secara gamblang dia itu siapa, atau apa. Mungkin TL membebaskan pembacanya berimajinasi tentang siapa sebenarnya tokoh ini.

Dan aku akan berusaha tidak mempermasalahkan kebetulan-kebetulan yang terjadi di dalam kisah ini. Kebetulan yang disengaja, sebetulnya. Kebetulan yang disebut dengan takdir di dalam kisah ini. Hubungan yang mengaitkan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Semua terjalin seperti rantai yang mengalung, ujung kepala dengan ujung ekornya pun terkait. Jika dipikirkan lebih dalam, memang terasa alur ceritanya dipaksakan. Namun aku paham alur seperti ini dibutuhkan untuk membuat kisahnya jadi utuh. Tapi tidak mengapa lah. Kisahnya jadi mengalir karena cara TL menjalin kejadian demi kejadian begitu tertata rapi, dan ya... mengalir bagai air.

Sebetulnya aku ingin memuji novel ini. Jika boleh memberi rating, aku akan beri 9 dari 10 bintang. Karena ini adalah novel terindah yang pernah kubaca.

Aku dua kali menangis saat membaca novel TL. Pertama di Bidadari-Bidadari Surga, kisah keluarga yang amat menyentuh. Ke dua ya di novel ini. Nilai-nilai kekeluargaan memang selalu membuat mataku berair. Tapi di novel ini hatiku tersentuh oleh pelajaran terhadap keikhlasan menjalani takdir.

Seperti Ray di novel ini, setiap orang pasti pernah bertanya paling tidak satu kali. Apakah hidup ini adil?
Bukan hal asing lagi melihat orang baik hidupnya lebih banyak susahnya, sementara orang-orang yang hidup enak itu belum tentu mendapatkan semua kenikmatan hidupnya dengan cara yang baik.

Seperti Ray di novel ini, setiap orang pasti pernah merasakan pahitnya kehilangan.

Entah itu kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan harta-benda, kehilangan pekerjaan... Kehilangan kepercayaan juga disebut kehilangan, bukan? Pasti meninggalkan rasa sakit. Meskipun tiap orang berbeda-beda, ada yang hanya sebentar sudah terbiasa, mulai mampu menerima. Ada yang lama baru bisa bangkit. Bahkan ada yang tidak bisa move on sama sekali, terpuruk. Bagaimana pun akhirnya, berapa lama pun dialami, rasanya tetap menyakitkan.

Dan kita cenderung menyalahkan setelah kehilangan itu. Menyalahkan apa saja. Siapa saja. Bahkan ada yang berani menyalahkan Tuhan. Betapa Tuhan tidak adil merampasnya dariku.

Begitu juga yang direfleksikan dari seorang Ray dalam kisah ini. Sakitnya kehilangan. Pahitnya ketidakadilan. Semua jadi satu amarah yang dilemparkan menjadi kekecewaan pada Sang Pemilik Kehidupan, Sang Penentu Takdir.

Namun di sini pun Ray dituntun kembali ke jalan yang benar, ke pemahaman yang lurus. Satu per satu menyibak masa lalunya. Sedikit demi sedikit dia mengerti arti dari garis ketetapan takdir itu.

Bahwa hidup ini adalah sebab-akibat. Hidupmu, apapun yang kaulakukan, segala yang kauperbuat, adalah menjadi sebab bagi hidup orang lain.

Seperti sepotong kisah yang diceritakan pria berwajah menyenangkan pada Ray. Tentang seorang Arab tua yang tinggal sendirian di sebuah gurun pasir. Ketika semua sanak keluarganya meninggalkan gurun itu, entah mengapa dia tetap di sana. Tinggal hingga mati sendirian di rumah kecilnya di tengah gurun gersang itu. Si Arab tua pikir hidupnya sia-sia. Tapi tanpa dia tahu, di hari ketika dia meninggal, datang sekelompok musafir melewati rumahnya. Salah seorang dari mereka berhenti untuk memakamkan si Arab tua. Namun kawanannya memilih melanjutkan perjalanan karena tidak ada apa-apa di rumah si Arab tua, bahkan makanan untuk menambah bekal perjalanan mereka. Setelah selesai memakamkan, musafir yang tertinggal ini melanjutkan perjalanan dan betapa terkejutnya dia menemukan kawanannya tergeletak tanpa nyawa, dihabisi bandit gurun

Lihatlah. Jika si Arab tua tidak meninggal hari itu, tidak akan ada musafir yang tinggal untuk punya alasan selamat dari gerombolan bandit. Lihatlah. Kematian seseorang menyebabkan kehidupan bagi orang lain.
Hidup adalah sebab-akibat.

Tidak perlu sedih berkepanjangan ketika nilai ulanganmu jelek. Boleh jadi kamu akan belajar lebih giat, memahami apa kekurangan dirimu, sehingga pada ulangan berikutnya kamu lebih siap dan berhasil mendapatkan nilai lebih tinggi. Boleh jadi peringkat satu dari seluruh siswa satu sekolah.

Tidak perlu sedih berkepanjangan ketika kamu tidak lolos seleksi perguruan tinggi favoritmu. Boleh jadi namamu tersingkir oleh puluhan ribu calon mahasiswa lain. Boleh jadi nomor urutmu hanya selisih satu angka. Tapi setelah itu semua, ternyata kamu mendapat undangan beasiswa untuk sekolah di luar negeri.

Tidak perlu sedih berkepanjangan ketika kamu tidak diterima kerja di perusahaan yang kamu impikan. Boleh jadi perusahaan itu akan bangkrut beberapa tahun kemudian, kamu justru kena PHK. Boleh jadi setelah lamaran kerjamu ditolak, tawaran kerja justru datang dari tempat yang tidak kamu sangka-sangka.

Ya, itu hanya contoh kecil. Ada ribuan, jutaan, bahkan milyaran kehilangan yang sebenarnya menyimpan arti, menyembunyikan makna yang harus kita temukan lewat prasangka-prasangka baik.

Tidak ada yang perlu disesali dari apapun yang terjadi dalam hidup ini. Sungguh tidak ada.

Novel ini mengingatkan kita, para pembaca, untuk selalu berprasangka baik pada Tuhan. Untuk selalu percaya pada janji-janji-Nya. Bukankah Dia tidak pernah ingkar janji? Dan janji-Nya adalah benar.

Aku akan mengutip kalimat paling hebat sepanjang kisah ini. Kalimat paling sakti.

"Ada satu janji Tuhan yang sungguh hebat, yang nilainya beribu kali tak terhingga dibandingkan menatap rembulan ciptaan-Nya. Yaitu janji menatap wajah-Nya. Menatap wajah Tuhan. Tanpa tabir, tanpa pembatas. Saat itu terjadi, maka sungguh, seluruh rembulan di semesta alam akan tenggelam tiada artinya."

Senin, 29 Agustus 2016

Sedekah Ginjal

Oke, judul di atas tidak semerta-merta bermakna secara harfiah dalam kisah yang akan kuposting ulang di bawah ini. Namun dalam kisah ini kita bisa banyak belajar memaknai besarnya manfaat sedekah dan tulusnya sebuah pemberian. Silakan disimak.

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~

Seorang ibu usia lanjut yang kaya raya akan melakukan transplantasi/cangkok ginjal untuk kelanjutan hidupnya. Setelah melalui proses seleksi yang ketat, ternyata satu di antara calon donor yang memenuhi syarat adalah seorang ibu muda yang miskin.

Saat tiba waktunya, kedua ibu ini harus bermalam di RS untuk  mempersiapkan operasi cangkok ginjal. Di pagi hari yang telah ditentukan sebelum masuk ke ruang operasi, ibu kaya ingin bertemu ibu miskin yang bersedia menjadi pendonor ginjal. Namun di depan kamar, ibu kaya mendengar ibu pendonor ginjal sedang menangis. Setelah diketuk berkali-kali, pada akhirnya pintu pun dibuka.

Ibu kaya kemudian memperkenalkan diri. Lalu dia bertanya, "Apa yang menyebabkan ibu menangis?"

"Saya terpaksa menjadi pendonor ginjal karena saya sangat membutuhkan uang. Suami saya telah meninggal. Saya harus memelihara tiga anak saya yang masih perlu biaya untuk sekolah. Saya sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini seandainya saya punya uang," ujar ibu pendonor ginjal dengan penuh harap.

Mendengar penuturannya, ibu kaya merasa terharu. Sejenak kemudian dia berkata, "Saya sudah tua, sudah begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada saya. Saya pikir saya tidak perlu lagi ginjal. Kalau Allah menghendaki biarlah saya meninggal dengan penyakit ini. Ambillah uang itu sebagai sedekah dari saya. Untuk membiayai hidupmu dan biaya sekolah anak-anakmu. Saya ikhlas dengan penyakit ini."

Operasi akhirnya dibatalkan. Kedua ibu itu masing-masing kembali ke rumahnya.

Setelah beberapa lama, ibu kaya itu tidak lagi mengalami masalah dengan fungsi ginjalnya. Dia kembali melakukan cek ke RS dan ternyata dokter terkejut, karena ginjalnya kini berfungsi dengan baik.

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~

 Secara medis hal seperti kisah di atas tidak mungkin terjadi. Namun bagi orang yang beriman, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Berkehendak.

Para pakar kesehatan mengatakan kesembuhan seperti ini disebut dengan "Quantum Healing". Proses yang terjadi tidak bisa dijelaskan oleh ilmu kedokteran. Saat ini, para ahli hanya bisa menjelaskan ada mekanisme psikoneuroendokrinimunologi, yakni mekanisme yang bermula dari kalbu / iman atau pikiran yang nantinya memengaruhi sistem persyarafan dan seterusnya memengaruhi fungsi hormonal dan sistem kekebalan tubuh dalam mencegah atau menyembuhkan suatu penyakit.

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." [QS. Asy-Syu'ara' (26): 80]

Sejatinya seorang muslim yang beriman kepada Allah, hanya mengharap kepada Allah sajalah segala sesuatu. Termasuk dalam hal mengharapkan kesehatan. Secanggih apapun ilmu kedokteran, sesakti apapun dukun yang dipercaya bisa menyembuhkan, tapi jika Allah tidak berkehendak sembuh maka penyakit itu tak akan sembuh. Maka hanya kepada Allah sajalah orang-orang beriman berharap.

Dari kisah di atas bisa kita renungkan bahwa penyakit tidak harus sembuh hanya dengan penanganan medis. Ketika kita ikhlas menerima penyakit itu dalam artian berprasangka baik pada Allah, boleh jadi Allah menurunkan penyakit pada kita untuk menguji kesabaran kita, untuk membuat kita kembali dekat kepadanya, boleh jadi Allah merindukan rintih tangis kita memohon kepadanya. Maka ketika kita telah menerima dengan lapang hati, tentu beban itu akan terasa berkurang.

Dan salah satu keajaiban sedekah boleh jadi mendatangkan kesembuhan atas penyakit-penyakit kita. Lihatlah ibu kaya dalam kisah di atas. Ketika dia dengan ikhlas menerima penyakit yang menimpanya, dan dia akhirnya memutuskan menyedekahkan uang yang seharusnya menjadi biaya operasi serta bayaran untuk pendonor ginjal justru untuk diberikan cuma-cuma pada si pendonor. Si ibu kaya tidak mengharapkan sembuh, karena tak ada lagi beban atas penyakitnya. Namun Allah berkehendak lain. Allah menghadiahkan kesembuhan untuknya, boleh jadi berkat ketulusan hatinya dalam bersedekah.

Wallahu'alam

Semoga bermanfaat :)

Jumat, 26 Agustus 2016

Pengharum Nama Bangsa Yang Tak Diperhatikan

Pagi ini ketika aku membuka chat grup di WhatsApp, hati ini terenyuh membaca satu repost. Dan ini ingin kubagikan ke semua orang dengan satu harapan: semoga pandangan kita terhadap "membanggakan bangsa" itu tidak hanya dinilai dari kriteria duniawi saja.

Silakan disimak.

=======================================================================

Balada RIO dan MUSA

Kedua nama ini sedang menjadi trending topik di media sosial tanah air maupun dunia. Mereka adalah Musa sang hafidz dan Rio Hariyanto. Kedua anak bangsa ini berjuang menjadi yang terbaik di dunia dalam pertarungan di medan mereka masing masing. Musa sang hafidz sedang bertarung menjadi penghapal Al-Qur'an terbaik di dunia. Sementara Rio sang pembalap bertarung menjadi manusia tercepat di dunia. Mereka adalah aset bangsa yg langka. Di pundak mereka harga diri bangsa dicoba diangkat tinggi-tinggi.

Namun ... perlakuan kepada keduannya sangat berbeda.

RIO sang pembalap, begitu gegap gempita, asa kemenangan begitu tinggi walau sebenarnya tidak pernah memulai pitnya di 10 besar pada saat start. Dengan dukungan dana yang melimpah, 15 juta euro (hitung sendiri kalau dirupiahkan), yang diberikan para sponsor perusahaan-perusahaan besar di negeri ini. Wajar bila kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam ajang balap mobil paling bergengsi di dunia dapat menjadi kenyataan.

Sementara itu kita lihat MUSA. Sang hafidz cilik, hanya dengan modal kegigihannya yang besar, sungguh minim bahkan hampir tidak ada sponsor yang terdengar mendanai keikutsertaannya di ajang kompetensi penghapal Al - Quran Internasional di Mesir. Namun dengan rahmat Allah, Musa mampu meraih tempat terhormat dengan menjadi juara ke tiga ... di DUNIA!

Lihatlah betapa ketidakadilan sedang berlangsung di negeri ini. Segala lapisan kehidupan sosial masyarakat, tanpa rasa keadilan oleh negara, media hanya memberitakan yang sesuai dengan kepentingannya. Bahkan nama Kementerian Agama pun yang semestinya menyertai perjalanan Musa, tak pernah disebutkan.

Betapa berita kemajuan tentang Islam telah menjadi anak tiri di negeri muslim terbesar di dunia. Sungguh ironis.

Perkenalkan. Ini Musa, seorang penghapal Al-Qur'an cilik. Usianya baru 7 tahun. Bicaranya bahkan masih cadel. Namun lihatlah prestasinya melimpah. Bukan saja terbaik se-Indonesia, tapi juga se-Dunia dalam ajang kompetisi penghapal Al-Qur'an. Yang terbaru 14 April 2016 kemarin, dengan Batik Nusantara khas Indonesia, Musa berhasil jadi Juara 3, mengalahkan 80 peserta dari 60 Negara Musabaqah Hifzil Al-Qur'an International di Mesir. Hebatnya lagi, Musa adalah peserta termuda sedangkan peserta lain berusia rata-rata di atas 10 tahun.

Tetesan air mata haru, kagum, mengiringi Musa saat tiba giliran menjawab pertanyaan dan uji coba dari Juri yang tentu saja penguji-penguji kelas dunia. Soal-soal dijawabnya dengan tenang. Selesai lomba, yang berlomba kemudian adalah penonton. Berlomba berfoto dan mencium kepala Musa. Kagum! Bahkan Presiden Mesir memberi penghargaan khusus buat adik kita itu.

Itulah dia Musa. Seorang putra bangsa Indonesia. Ia tak butuh trilyunan rupiah sekedar untuk mengharumkan nama bangsa. Ia juga tak perlu mengemis sponsor milyaran untuk sekedar mengharumkan nama bangsa. Ia juga tak perlu merepotkan negara ratusan milyar. Bahkan tanpa menodong kementrian agar pegawainya potong gaji, untuk sekadar mengharumkan nama bangsa. Ya! Ia tak perlu semua itu untuk sekadar terkenal di dunia. Paling keren kita hanya mendapat berita kemenangan nasionalnya di salah satu stasiun TV. Karena standar definisi "Bangga" dan "Mengharumkan Nama Bangsa" masih belum kita sepakati dalam arti yang sama.

Tapi aku bangga padamu, Nak. Jika media mainstream tak memberitakanmu, biar kami saja yang mengabarkan tentangmu pada Indonesia, pada grup WA ini (atau kuposting ulang di blog ini atau media sosial lainnya, atau bahkan hanya dari mulut ke mulut).

Di tengah sesaknya berita politik yang menyampah, kita penuhi kabar negeri ini dengan berita baik. Berita positif. Berita gembira. Salah satunya dengan berita tentangmu. Agar bangsa kita bangga, dan menyadari bahwa negeri kita masih punya harapan, masih bisa berjaya tanpa mengeluarkan biaya setinggi langit. Tanpa minta minta dan mengemis.

=======================================================================

Terima kasih, MUSA ....

Semoga bermanfaat :)

Kamis, 25 Agustus 2016

Kebiasaan Penulis Fiksi

Hai!

Aku selalu sebal ketika dalam hati sudah berniat untuk rajin posting di blog, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Sungguh menyebalkan! Satu dan lain hal selalu bisa jadi alasan; tidak punya waktu luang lah, sibuk dengan hobi lain lah, tidak mood lah. Ada saja, kan? Memang sudah seperti fitrah saja ya jika manusia suka sekali membuat alasan--eh, atau hanya aku saja ya?

Baiklah. Lupakan saja soal itu.

Siang ini ketika waktu-waktu senggang di tengah jam kerja, aku iseng berselancar di dunia maya. Dan menemukan tips hebat untuk masalah tulis-menulis yang sangat menarik untuk disimak. Tips ini aku comot dari situs indonovel.com, yang meniru konsep dari Dr. Stephen R. Covey berjudul 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif (1989).

Pernah mendengar Hukum Pareto (Aturan 80/20)? Bahasa mudahnya, hukum ini mempresentasikan 80 % keberhasilan kita berdasarkan 20% dari apa yang kita kerjakan. Atau dengan kata lain, kita bisa mencapai keberhasilan 80% hanya dengan memaksimalkan usaha 20% saja. Jadi kesimpulannya, apa yang kita lakukan selama ini lebih banyak tidak efektifnya.

Jadi ... bagaimana solusinya?

Simak!

Kebiasaan Penulis Fiksi

1. Menjadi Proaktif

Ini salah satu solusi efektif mengatasi writers blog. Semua penulis tahu WB alias writers block sudah menjadi "penyakit" yang mudah sekali menyerang kami. Bahaya sekali kalau sudah kena, tulisanmu dijamin terabaikan jika penyakit ini tidak segera diobati. Serius! Aku (dan aku yakin banyak penulis lain) sering kali mengikuti tips apapun untuk menyembuhkan penyakit ini. Seperti mendengarkan musik, refreshing ke tempat-tempat baru, membaca karya penulis lain, dsb. Tapi sudah dilakukan pun belum juga berhasil. Kenapa? Karena saran-saran di atas adalah contoh solusi dari luar. Sementara WB adalah penyakit yang sebetulnya datang dari dalam diri sendiri.

Jadi beradasarkan konsep Covey, solusinya ada pada 2 pilihan:
Memilih kalah dan mencari pembenaran (lagi nggak mood, butuh tempat sepi, cuaca terlalu panas, menunggu datangnya inspirasi, dll)

atau...

Memilih untuk tetap menulis.


2. Menyusun Cerita Hingga Ending

Banyak dari penulis yang terbiasa langsung mengeksekusi tulisannya ketika muncul sebuah ide cerita, meskipun endingnya belum tahu akan seperti apa (maksudku, aku *haha). Padahal alangkah baik jika sebelum ditulis, kita sudah mengetahui akhir dari perjalanan tokoh dalam cerita kita.

Tambahan tips dariku: membuat outline. Ini akan memudahkan kita dalam menulis. Tidak perlu rinci, yang terpenting adalah poin-poin utama yang akan diceritakan. Jika sudah terbayang alurnya, runutan cerita, maka besar kemungkinan kita akan terhindar dari masalah kebuntuan ide di tengah jalan nanti.


3. Memprioritaskan Menulis

Kita (aku) sering mengatakan tidak punya waktu untuk menulis. Padahal untuk melakukan hal-hal lain yang tidak penting masih saja sempat (twitteran, facebookan, atau bahkan nonton TV). Sedikit kutipan dari situs sumber tips ini yang akan aku tebalkan dan garis bawahi:

Menulis bukan perkara Anda punya waktu atau tidak. Menulis adalah pilihan.

Setuju banget!

Jadi, jika menulis itu penting, maka prioritaskanlah waktu untuk menulis.


4. Mengerti Pembaca Sebelum Dimengerti

Pernah tidak sih merasa gusar sendiri ketika membaca review negatif untuk tulisanmu? Jujur, aku selalu kesal. Terlintas dalam pikiran, "Mereka berkomentar begini karena tidak bisa memahami ceritaku." Merasa bahwa tulisanku sudah sedemikian sempurna sehingga keberatan untuk dikritik.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi secara objektif, kritikan-kritikan itu ternyata ada benarnya. Padahal jika kita mau sedikit merendahkan hati dan mengesampingkan ego, kritikan seperti itu justru bisa menjadi masukan paling baik. Batu yang keras bahkan memiliki lubang walau kecil. Kritikan yang demikian itu adalah penambalnya.

Karena jika kita menolak kritik, kemampuan hanya akan jalan di tempat.


5. Mengasah Pena

Seperti gergaji yang akan tumpul jika tidak diasah, begitu juga dengan kemampuan menulis. Seorang tukang kayu akan berhenti sejenak untuk mengasah gergajinya. Maka kita sebagai penulis juga perlu sesekali berhenti dari kegiatan menulis untuk mengasah kemampuan kita. Cari refrensi terbaik, membaca buku-buku penulis lain dan mempelajari teknik menulisnya, atau menonton film untuk menemukan ide-ide segar.


Semoga bermanfaat ;)


sumber: indonovel

Senin, 11 Juli 2016

Mark Wahlberg dan Matt Damon

Sampai sekarang ibuku tidak bisa membedakan mana Mark Wahlberg mana Matt Damon. Yep, kedua cowok kece ini memang punya wajah sebelas-dua belas. Sama-sama aktor terkenal, sama-sama ganteng dan kharismatik, sama-sama pirang. Awalnya pun kupikir mereka orang yang sama. Tapi setelah sering lihat wajah masing-masing sebenarnya nggak mirip-mirip amat. Tapi buat ibuku mereka sulit dibedakan.

Ibuku termasuk penggemar film Hollywood, meskipun tidak muda lagi. Banyak aktor-aktris yang dikenalnya, tapi ya begitu, kenal muka tapi nggak kenal nama. Mudahnya ibuku suka menyebut mereka dengan sebutannya sendiri. Matt Damon misalnya, ibuku menyebutnya 'yang bawa-bawa tas', idenya muncul dari film Bourne Indentity di adegan Jason Bourne menggendong tas merah saat dikejar polisi di gedung Kedutaan AS di Austria. Atau Mark Wahlberg, disebut dengan 'monyet-monyet', idenya dari film Planet Of The Apes. Begitulah.

Jadi setiap tayang film yang ada salah satu dari mereka, pertanyaan ibuku selalu sama. "Itu yang 'monyet-monyet' atau 'yang bawa-bawa tas'?"

Tiga Anggota Baru

Lebaran tahun ini jadi sangat sangat sangat berbeda karena keluarga kami mendapat 3 anggota baru. Tepat H-1 Lebaran, Miika melahirkan! Tiga ekor anak kucing gendut, sehat, dan menggemaskan.

Ada cerita lucu di balik proses melahirkannya. Karena sebelumnya aku tidak pernah punya kucing yang dipelihara sejak kecil sampai besar dan hamil hingga dia jadi kucing yang manja sekali, semua tingkah lakunya sebagai tanda-tanda melahirkan tidak bisa kubaca dan kumengerti dengan baik.

Kejadiannya sehabis subuh. Aku turun dari kamar atas, ibuku bilang Miika sudah mengeluarkan cairan (sepertinya air ketuban). Sebelumnya ibuku sudah mengarahkan Miika ke tempat melahirkan yang disiapkan, sekotak kardus dilapisi kain agar hangat--tapi sebelumnya juga Miika membuat tempat itu berantakan, mencakar dasar kardusnya sampai hancur (aku masih menebak-nebak apakah itu semacam sikapnya menolak tempat itu, atau dia berusaha membuatnya lebih nyaman dengan sobekan-sobekan dus, entah). Saat ibuku mengarahkannya ke sana, Miika tampaknya tidak mau (saat itu kupikir tebakanku lebih tepat yang pertama). Miika justru memilih masuk ke lemari rak terbawah--lemari baju orangtuaku. Jadi ketika aku turun dari kamar, dia sudah berbaring di sana dengan wajah tegang (kurasa menahan mulas, seperti ibu-ibu hamil yang sebentar lagi melahirkan), dan semua pakaian orangtuaku yang tadinya ada di sana sudah bertumpuk berantakan di atas tempat tidurnya--kamar orangtuaku mendadak jadi kapal pecah.

Sementara itu ku menyalakan televisi dan menunggu dengan santai, kupikir prosesnya bakal berjalan semulus jalan tol. Tinggal biarkan dia sendirian di dalam lemari, mungkin beberapa menit kemudian aku sudah melihat anak-anak kucing sedang menyusu pada induknya. Ternyata dugaanku salah besar. Hanya berselang sekian menit sejak aku menyalakan televisi dengan niat bersantai sambil menunggunya, Miika tiba-tiba berjalan keluar lemari masih dengan perut gendut, menggesek-gesek badannya pada kakiku, menyundul-nyundul kepalanyanya ke betisku, mengeong dengan suara yang membuatku kasihan mendengarnya.

Ya ampun, kupikir ini bakal mudah. Dia belum melahirkan dan mengeong seakan minta bantuan padaku. Apa yang bisa kulakukan? Akhirnya aku hanya mengelus-elus perut dan kepalanya, kuharap dia menjadi sedikit tenang dengan sentuhan-sentuhan itu. Dan ketika perhatianku teralih karena ibuku mengajak bicara, aku tidak sadar Miika berjongkok di hadapanku seperti posisinya kalau mau buang air. Ya ampun, aku tidak akan sadar apa yang dia lakukan kalau ayahku tidak menunjuknya. "Udah keluar, tuh."

Benar saja. Ketika perhatianku penuh kembali padanya, aku bisa melihat kepala anaknya sudah muncul. Aku panik--tentu saja, siapa yang bakal mikir seekor kucing tiba-tiba mengeluarkan anaknya di depan matamu. Ayahku menyuruhku memindahkannya. Ibuku berseru-seru panik, menyuruhku hal yang sama tapi tidak mau membantuku karena takut menyentuh Miika. Dengan kepanikan luar biasa aku tidak pikir panjang lagi, langsung mengangkatnya (dengan memegang bagian ketiaknya) sementara kakinya menggantung dengan kepala anaknya yang menyembul di sela-sela kaki. Ibuku berteriak, "Awas, anaknya nanti jatuh!" Dengan suara tinggi yang membuatku semakin panik, dan lagi-lagi tanpa membantuku. Aku tak punya ide lain bagaimana membawa Miika tanpa anaknya berisiko jatuh, maka kupegang saja kedua kakinya sehingga tanganku tanpa bisa dihindari terkena cairan kental yang keluar dari sana, entah darah atau yang lain. Kumasukkan Miika ke dalam lemari. Aku tidak bisa membuatnya jongkok seperti saat tadi (kupikir posisi itu membuatnya lebih mudah mengeluarkan anak-anaknya), sehingga dia hanya berbaring dengan perut gendutnya bergerak naik-turun tidak teratur, pelan-pelan mengeluarkan anaknya. Aku mengelus perutnya pelan dan lembut, sekali lagi kuharap sentuhan itu bisa membuatnya tenang. Setelah sekian menit, anak pertamanya berhasil keluar dengan utuh. Miika berpindah posisi ke sudut lemari dan menjilati anaknya yang masih basah diselimuti cairan kental dan lengket.

Aku bernapas lega, terharu melihat semua yang sudah terjadi itu langsung di depan mataku. Tapi ini belum selesai, karena kucing idealnya melahirkan anak lebih dari satu. Melihat perutnya, aku dan ibuku sudah menebak-nebak. Kubilang anaknya tiga ekor, kehamilan pertama mungkin tidak akan terlalu banyak. Ibuku menebak lima. Daaaan ... tebakankulah yang benar!

Miika melahirkan tiga ekor anak kucing. Proses kelahiran yang ke dua dan tiga tidak kusaksikan karena jaraknya ternyata cukup lama. Aku sampai bosan menungguinya di depan lemari, jadi kulanjutkan acara menonton TV--sambil sesekali mengintip ke dalam lemari.

Bayi kucing yang lahir pertama berbulu hitam dengan sedikit corak putih di wajahnya dan kaki-kaki mungilnya sehingga kucing kecil ini kelihatan seperti memakai dua pasang kaus kaki putih. Menggemaskan. Aku pernah berharap punya 'kucing kaus kaki', dan sekarang harapanku terkabul. Hihii senangnya~. Dan aku tidak tahu mana yang lebih dulu di antara ke dua anak yang lain. Satunya bercorak mirip sekali dengan yang pertama, dominan hitam dan putih di kakinya, yang membedakan hanya corak putih di wajah; yang ini coraknya di bagian bawah wajahnya. Dan satu ekor lagi berbulu antara abu-abu belang dan cokelat (sulit menjelaskan jenis warna apa dia), tapi yang pasti si meong satu ini yang paling berbeda di antara kedua saudaranya. Aku menamakan si hitam-putih yang pertama Oreo. Hitam-putih yang lain kunamakan Sera. Dan si belang-cokelat kunamakan Bambee.

Rasanya tidak sabar menunggu mereka besar untuk diajak main :3

Sabtu, 02 Juli 2016

Miika Kesayangan

Miika namanya, kucing kampung berbulu belang gelap, kucing kesayangan di rumah kami. Dia mendatangi rumah kami ketika usianya mungkin sekitar 3 atau 4 minggu (aku tidak tahu pasti), masih kucing kecil yg ringkih, kesepian, sendirian. Dia datang saat subuh hari, mengikuti adikku pulang dari masjid. Dia takut-takut masuk ke rumah kami, mungkin beberapa pengalaman-diusir mengajarkannya untuk hati-hati terhadap manusia dan tempat tinggalnya. Aku ingat itu hari Sabtu tahun yang lalu, tapi aku lupa di bulan September atau Oktober, minggu ke berapa. Namun itu tidak penting lagi karena kucing kecil itu telah menjadi anggota keluarga kami sejak hari itu.

Kedatangan Miika seakan menjadi hadiah yg dititipkan Allah padaku, karena sudah lama sekali aku ingin memelihara kucing. Tapi aku tahu ibuku tak akan pernah merestui. Baginya kucing adalah hewan yg jorok, bulunya rontok di mana-mana, suka mencakar kursi--yg lebih gawat lagi, suka mencuri makanan di dapur. Namun kemudian entah apa gerangan membuat ibuku pelan-pelan berubah pikiran. Mungkin sebab populasi tikus-tikus yg lebih menjijikkan semakin subur di ranah dapur dan gudang, itu membuat ibuku lama-lama jengah. Sepertinya ada hikmahnya juga banyaknya tikus di rumah kami--aku mendapat kesempatan untuk memelihara kucing *bersorak dalam hati*. Tapi prosesnya tidak secepat itu. Aku masih perlu bersabar karena ibuku tidak mau sembarang pungut anak kucing di jalan. Di lain cerita, kucing jantan berwajah lucu di tempat kerjaku yang lama sedang sekarat, tidak lama kemudian mati mengenaskan entah sebab apa. Namanya Betrand. Tahu kenapa diberi nama itu? Katanya sih karena bulunya bule (cokelat kekuningan). Agak maksa ya? Haha. Tapi mengenang kelucuan Betrand hanya membuatku sedih mengingat akhir hidupnya. Yang berhubungan dengan cerita ini adalah kucing betina pacarnya Betrand sedang hamil besar ketika dia mati. Temanku menawarkan anak-anaknya padaku saat lahir nanti. Dan begitu dua anak Betrand lahir, aku tak juga punya kesempatan untuk mengambilnya. Sampai akhirnya hari Sabtu pagi yang cerah itu tiba, ketika Miika datang ke rumah kami.

Ada kejadian lucu di hari pertama Miika datang. Dia buang air. Kalian tahu di mana? Persis di atas tempat tidur orangtuaku! Ya ampun, aku paniknya bukan main. Saat itu orangtuaku sedang tidak di rumah. Langsung cepat-cepat kucuci seprai yang kotor itu. Dalam hati aku mengeluh, bertanya-tanya, apakah ibuku akan mengusir Miika karena kotoran 'selamat datang'nya di seprai ibuku setelah penerimaan yang hangat.... Kutatap Miika dengan lirih, mengucap meskipun dia tidak mengerti bahasaku, "You're in big trouble, little girl." Ketika ibuku pulang dan mengatahui kejadiannya (mau tak mau aku ceritakan, karena aku tak punya alasan lain mengapa seprai tiba-tiba diganti), rasanya seperti seember air sejuk menyiram sekujur tubuhku. Lega. Ibuku hanya tertawa, tidak marah sama sekali. Ajaib. Aku tidak mengerti, ini seperti sebuah keajaiban, tapi aku tidak akan membahas itu lebih panjang atau ibuku akan berubah pikiran.

Aku tahu Miika perlu diajarkan untuk buang air pada tempatnya. Beberapa waktu lalu aku pernah membaca-baca artikel tentang memelihara kucing di internet, aku ingat pernah ada yang membahas bagaimana melatih kucing peliharaan agar terbiasa buang air di tempat yang disediakan. Aku ikuti saran itu. Kubuat toiletnya sendiri dengan baki plastik bekas, kuisi penuh dengan pasir kering, kuletakkan itu di bawah tangga (posisinya pas terhalang dari pandangan orang-orang). Itu bagian mudah. Hal sulitnya adalah membuatnya mengerti dia hanya boleh pup di sana. Butuh proses dan kesabaran. Aku mempelajari gerak-gerik Miika setiap dia mau buang air. Kelihatannya dia akan menuju tempat yang sama saat pertama kali dia melakukannya. Tempat tidur ibuku! Tidak lagi, Miika. Jadi setiap kali dia berjalan ke kamar ibuku, aku langsung menggendongnya ke pasir. Dia turun dan berlari kembali ke kamar, buru-buru aku menutup pintu. Dan aku kembali menaruhnya di atas pasir. Kejadian ini bisa berulang-ulang, tidak mungkin bisa berhasil di percobaan pertama. Awalnya dia sepertinya bingung, tapi kurasa setiap kucing mengenali secara alamiah bahwa pasir adalah 'toilet'nya. Rasanya bahagia melihat dia pup di pasir yang sudah kusediakan. Apalagi ketika dia dengan sendirinya berjalan dengan kaki-kaki mungilnya ke pasirnya atas inisiatifnya sendiri setiap mau pup. Ah, senangnya. Aku seperti seorang ibu yang berhasil mendidik putri kecilnya bisa cebok sendiri :"3

Cerita tentang Miika masih amat sangat panjang. Tapi aku sekarang tidak punya waktu sebanyak itu untuk menuliskannya. Mungkin lain kali.

Kamis, 30 Juni 2016

Bahagia Itu Sederhana

Bagi sebagian orang mungkin merasa bahagia ketika dia memiliki uang banyak; rumah besar, mobil mewah, jalan-jalan keliling dunia. Bagi sebagian lagi bahagia bisa datang dari hal-hal kecil, seperti mendapat hadiah ulang tahun, bisa membeli sepeda motor yang sudah lama diidam-idamkan, atau akhirnya naik gaji. Lebih banyak masih seputar materi, dan fokusnya masih kepada apa yang kita dapatkan.

Pernahkah kita berpikir bahwa bahagia bisa datang dari apa yang kita keluarkan dari diri kita?

Ya, memberi, berbagi. Apapun, tidak perlu dengan materi. Memberi bantuan pada seseorang yang mengalami kesulitan di jalan misalnya; membantu ketika ada orang yang bertanya alamat; membantu seseorang yang kendaraannya mogok; membantu orang lain menyebrangi jalan. Atau meringankan pekerjaan asisten rumah tangga dengan mengerjakan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri. Atau membantu tetangga memberikan pinjaman perkakas yang dibutuhkan. Bahkan menyingkirkan duri, ranting pohon, atau beling (apapun yang membahayakan pengguna jalan) demi keamanan mereka.

Kelihatannya sepele, remeh, kecil tak berarti. Begitu ringan, begitu mudah kita lakukan. Mungkin kelihatannya tidak seberapa dan bukan apa-apa. Tapi bagi orang yang dibantu akan sangat merasa tertolong. Boleh jadi dia hanya membalas dengan ucapan terima kasih dan sebuah senyuman. Tapi ketika kita melihat wajahnya, akan timbul perasaan hangat di hati. Rasa bahagia. Itulah sensasi yang kita dapatkan setiap kali menolong kesulitan orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang memberikan kemudahan (bantuan) kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat." (HR. Muslim)
Allah menjanjikan kita kelapangan urusan (bahkan tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat) jika kita membantu kesulitan orang lain. Tetapi jangan hanya karena janji tersebut lantas kita baru terpikirkan untuk menolong orang lain. Karena sejatinya kita mencari kepuasan batin, kepuasan jiwa, kepuasan sosial, atas bantuan-bantuan kecil yang mungkin tidak berarti di mata orang lain. Seperti senyuman yang menular, maka dengan membantu orang lain tidak hanya membuat orang tersebut bahagia, namun sesungguhnya kita juga sedang membuat diri kita bahagia. Ya, salah satu cara membahagiakan diri sendiri adalah dengan membahagiakan orang lain. Tidak perlu dengan materi, tapi lakukanlah apa yang bisa kita lakukan. Tentu semakin besar yang bisa kita beri, diri sendiri pun akan merasa semakin terpuaskan.

Bahagia itu sederhana, bukan?

Rabu, 29 Juni 2016

Semangat Baru

Helo :)

Sudah lama banget ya rasanya nggak nulis di blog ini.
Rasanya sebel sendiri deh. Dari dulu punya blog tapi jarang banget diisi, jarang posting. Kebanyakan karena sibuk, nggak punya waktu luang, lebih banyak lagi karena malas. Yes, sekalinya ada waktu luang, lagi senggang, justru tergoda untuk melakukan hal-hal lain. Melahap novel, nonton film, nonton drama Asia, tidur *ups.

Belakangan ini fokusku tersita untuk beradaptasi di kantor baru, menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru, dan tentu saja dengan lingkungan baru. Aku bukan orang yang mudah terbiasa, sehingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk menikmati semua itu. Satu dan lain hal terkadang menjadi batu sandungan--kurasa tidak hanya sekadar batu sandungan, tapi tembok besar nan kokoh berdiri di hadapanku, menghalangi jalanku. Well, aku perlu bekerja keras untuk terbiasa dan bertahan. Sebelumnya aku memang punya masalah soal pekerjaan. Lebih ke urusan prinsip. Beberapa kali aku harus berhenti dari satu perusahaan karena etos kerjanya tidak sesuai dengan prinsipku. Sejak lulus kuliah, aku sudah bekerja di empat perusahaan berbeda--lima dengan tempat kerjaku sekarang. Dari ke empatnya, hampir semua di mana aku memilih berhenti karena prinsip yang tidak sesuai. Di tempatku yang sekarang kuharap aku akan bertahan lama, paling tidak hingga kebutuhan-kebutuhan jangka pendekku tercapai. Aku bukan orang yang loyal pada perusahaan, jujur saja. Orientasiku bukan karir. Bagiku pribadi, karier seorang wanita sesungguhnya adalah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Ketika dia berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama suaminya, berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang yang bermanfaat, maka di situlah prestasinya. Itu cita-cita terbesarku. Tapi ... sekarang mungkin belum bisa, karena aku perlu mengorbankan cita-cita itu demi menghidupi ayah dan ibuku.

Berpikir tentang tulis-menulis, beberapa waktu lalu aku akhirnya menghapus hampir semua cerita fiksi yang dipublikasi sebuah situs penggemar. Cerita-cerita yang sudah kuterbitkan selama rentang 8 tahun ini sejak aku bergabung di situs itu. Rasanya memang disayangkan. Sebelum melakukan itu pun aku melalui banyak pertimbangan, salah satunya adalah pertanyaan pada diriku sendiri, apakah aku tidak akan menyesal setelah menghapusnya. Namun kemudian akhirnya tekadku bulat untuk menghapus cerita-cerita itu. Yang kuterima kemudian adalah protes dari para pembaca. Banyak yang menyayangkan, banyak yang menghujat, dan beberapa dari mereka mencoba memahami apa yang kulakukan meskipun (kemungkinan besar) mereka tidak tahu apa alasanku. Aku sudah menduga akan menerima komentar-komentar itu. "Kenapa dihapus?" "Sayang sekali." "Kau membuatku kecewa." Dan sebagainya. Terkadang komentar-komentar itu membuatku jengah dan sedih (terkadang kesal). Tapi aku sudah putusakan untuk tidak akan mengembalikannya. Aku sudah memutuskan dan aku yakin keputusan itu benar. Teman-teman dekatku mendukungku dengan bijak, aku beruntung memiliki mereka.

Jadi ... apa sebenarnya alasanku menghapus cerita-cerita fiksi itu?

Aku berpikir dan berpikir ulang apa sebenarnya tujuanku menulis. Hingga pada akhirnya aku menemukan sesuatu yang pernah kujadikan prinsip dalam menulis. Aku ingin menginsipirasi orang lain dengan tulisanku. Ya, aku pernah bercita-cita seperti itu. Penulis favoritku adalah Tere Liye, dan itulah yang kurasakan ketika membaca tulisan-tulisannya. Inspirasi. Betapa kagumnya aku padanya, sehingga beliau tidak hanya sekadar penulis favorit untukku tapi juga role modelku dalam tulisan. Aku ingin menulis seperti beliau, aku ingin menginspirasi seperti beliau. Dan melihat lagi tulisan-tulisan yang pernah kubuat, aku jadi malu sendiri. Manfaat apa yang bisa kudapat dari tulisan-tulisan ini? pikirku. Paling-paling hanya sebagai hiburan, tidak ubahnya cerita-cerita sinetron murahan di televisi lokal, tidak ada bedanya dengan obrolan seru perempuan-perempuan yang suka bergosip.
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. -Rasulullah saw- (HR. Thabrani)
 Di mana letak gunanya tulisanku jika itu tidak bermanfaat bagi pembacanya? Dan satu lagi yang kutakutkan dari tulisan-tulisanku adalah ketika ada hal buruk di dalamnya (meskipun aku tidak bermaksud menulisnya) lalu ditiru oleh pembacanya. Maka ketika dia berdosa, aku pun mendapatkan dosa yang sama, karena sejatinya akulah yang mencontohkan perbuatan buruknya. Astaghfirullah ... naudzubillahimindzalik. Sudah cukup apa yang sudah kutulis selama ini, hal-hal yang tidak bermanfaat. Aku tidak akan sanggup menanggung dosa karena perbuatan orang lain yang dicontohnya dari tulisanku. Maka aku berhenti.

Tapi sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia dengan sebuah kelebihan. Mungkin aku dianugrahkan kelebihan dalam menulis, merangkai kata-kata (menurut teman-teman pembaca aku berbakat). Semua kukembalikan lagi pada Sang Pencipta. Jika memang ini kelebihanku, maka insya Allah aku akan memanfaatkannya untuk kebaikan.

Semangat! :D

Minggu, 20 Maret 2016

[REVIEW] Red Cliff: Pertempuran Di Tebing Merah

Entah kenapa ada sesuatu yang membuatku tertarik untuk menonton film ini. Padahal aku bukan penggemar film kolosal, apalagi Kerajaan Cina zaman dulu. Tapi saat pertama kali melihat film ini tayang di sebuah stasiun TV nasional (part 1), tanganku tidak lantas bergerak memencet tombol di remote untuk ganti channel. Tiba-tiba mataku terpaku pada layar ketika mengenali wajah salah satu pemainnya. Takeshi Kaneshiro. Well, mungkin karena dia aktor Jepang, aku jadi penasaran bagaimana ceritanya dia bisa main di film produksi negeri tirai bambu (bukan hal yang aneh sih sebenarnya, tapi lebih curious melihat bagaimana dia bermain di film non Jepang). Dan semakin lama aku menonton film ini, semakin banyak hal menarik yang bisa kutemukan.

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Cerita dimulai dengan pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei bersama rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran penasihatnya, Zhuge Liang (Takeshi Kaneshiro), mereka membentuk aliansi dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Kedua pihak sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao. Dan pasukan aliansi ini dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Shido Nakamura) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit aliansi terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk bisa mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.

Film ini mengingatkanku pada film kolosal Hollywood yang tayang 4 tahun lebih dulu. Troy. Sama-sama film bertema perang, sama-sama memperlihatkan strategi perang yang luar biasa sebagai salah satu daya tariknya. Tapi menurutku, taktik perang dalam Red Cliff tampak lebih menarik dan cerdas. Jika Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse yang dipakai pasukan Achilles untuk menembus benteng Kerajaan Troya, sementara Red Cliff menggunakan taktik arah angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Tidak hanya itu, masih banyak taktik lain yang membuatku sebagai penonton ternganga kagum. Seperti taktik milik Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh (agak ngakak juga di bagian ini, karena pasukan Cao Cao benar-benar dibodohi). Atau taktik pertahanan dari serangan pasukan Cao Cao yang dipakai Zhou Yu yang membuat kepalaku menggeleng-geleng kagum.

Selain strategi-strategi cerdas itu, film ini juga mengandung nilai-nilai humanis, patriotis, dan sarat akan seni budaya. Minum teh bagi kita adalah hal yang biasa. Tapi bagi bangsa Cina, minum teh adalah seni yang mengandung makna khusus. Ada cara-cara khusus untuk menyeduhnya, juga saat menyajikannya. Tiap tahap memiliki filosofi mendalam. Kesenian dalam bermusik bagi bangsa Cina juga bisa menjadi media komunikasi antara pemain yang satu dengan yang lainnya. Seperti ketika Zhuge Liang dan Zhou Yu sama-sama memainkan alat musik semacam kecapi (entah apa namanya). Dalam balas-membalas nada seakan-akan mereka saling bicara. Dan yang membuatku salut sepanjang film ini adalah unsur cinta damai. Pasukan aliansi memilih berperang demi mempertahankan kedamaian, bukan semata-mata mengincar kemenangan atas kekuasaan wilayah atau demi membuktikan bahwa mereka lebih hebat daripada pasukan Cao Cao. Kekuatan serta kekuasaan diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus. Memesona, namun tidak lebih indah daripada kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang menurutku sangat bagus. Menunjukkan bahwa inti dari perang bukanlah tentang perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang menjadi korban. Dilepasnya seekor kuda peliharaan Zhou Yu dan istrinya pada scene terakhir menjadi simbol sebuah kebebasan yang membawa perdamaian.

Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini tidak sepenuhnya berdasarkan sejarah, hanya 50% saja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Kurasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Tebing Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni. Tidak melulu tentang pertumpahan darah, ambisi terhadap kekuasaan; tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan tidak monoton. Mungkin inilah yang membuat Red Cliff menjadi film kolosal yang begitu menarik dan sayang dilewatkan.

Recommended!


pic from: pangeran229.wordpress.com

Kamis, 17 Maret 2016

Catatan Dari Balik Penjara Israel

Buku ini adalah salah satu hasil perburuanku di Islamic Book Fair 2016 minggu lalu. Teringat pada saat aku berkeliling di tengah orang-orang berdesakan, mataku tiba-tiba tertuju pada buku ini yang terletak di susunan teratas. Judulnya langsung membuatku tertarik pada detik pertama aku melihatnya. Catatan Dari Balik Penjara Israel. Belum lagi sampul bukunya yang terbilang tak kalah menarik. Seorang laki-laki memegang bendera Palestina, terduduk sendirian di balik bayang-bayang jeruji penjara. Benar-benar memancing rasa ingin tahu, bukan?

Bukunya tidak terlalu tebal, hanya sejumlah 128 halaman. Berisi 23 kisah tahanan Palestina di penjara Israel. Ditulis oleh Norma Hashim, seorang relawan Malaysia, yang memiliki tekad besar untuk membuka mata dan hati masyarakat dunia terhadap penderitaan para tahanan Palestina.
Rasanya cukup sulit menyelesaikan buku (tipis) ini. Meskipun kisahnya pendek-pendek, tetap berat rasanya bagiku untuk membayangkan apa yang mereka ceritakan. Para tahanan itu. Karena ini adalah kisah nyata, penderitaan mereka bukan karangan belaka yang dijual demi keuntungan materi seperti cerita dalam novel. Kepahitan dan duka yang mereka jalani hampir separuh hidup mereka di dalam penjara benar-benar terjadi ketika orang-orang di belahan dunia lain terlena dengan kebebasannya. Mungkin kita tidak pernah tahu, atau tidak pernah menyadari, bahwa selagi kita punya banyak kesempatan untuk melakukan apa saja yang kita inginkan, mencapai apapun impian kita, ada orang-orang seperti para tahanan Palestina yang bahkan melihat cahaya matahari saja tidak bisa. Kebebasan adalah harga yang sangat mahal bagi mereka.

Mirisnya banyak dari mereka ditangkap dan dijadikan tahanan meskipun tidak memiliki kesalahan apapun. Mereka bukan tentara atau pejuang, mereka hanya warga sipil; hanya seorang anak yang sedang menikmati kehangatan bersama ayah dan ibunya, hanya seorang ibu yang memiliki beberapa orang anak yang masih kecil-kecil; hanya seorang pemuda yang baru menikah dan akan jadi ayah. Mereka bahkan tidak tahu alasan mengapa tentara Israel membawa paksa mereka dari rumah mereka yang hangat, menjebloskan mereka ke dalam penjara yang sempit dan gelap. Mereka harus mendekam di balik dinginnya dinding penjara selama puluhan tahun (kebanyakan di atas 20 tahun). Harus terpisah dari orang-orang yang mereka cintai. Harus membiarkan anak-anak mereka lahir dan besar tanpa mereka. Dan mereka tidak tahu alasan mengapa mereka harus menjalani itu semua.
Satu alasan yang paling masuk akal atas penahanan itu adalah: karena mereka orang Palestina.
Mungkin mereka keras kepala, keras hati, keras keinginan. Mereka dijajah puluhan tahun, dari generasi ke genarasi, ditindas dengan cara apapun. Namun mereka masih tegak berdiri di tanah kelahiran mereka, tidak sejengkal pun mau menyerah apalagi angkat kaki. Boleh jadi kegigihan merekalah yang harus mereka bayar dengan kebebasan.

Beberapa informasi yang kudapat dari cerita di dalam buku, para tahanan ini diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka disiksa secara fisik maupun psikis. Yang sakit dibiarkan membusuk. Atau jika mereka boleh berobat, mereka sembuh hanya untuk disiksa kembali. Kunjungan keluarga juga dibatasi. Ada yang sudah ditahan bertahun-tahun baru mendapat kunjungan keluarga—itu pun hanya beberapa menit, dan pertemuan mereka dibatasi oleh dinding kaca tebal, hanya bisa saling mendengar suara dengan pesawat telepon.

Tidak sedikit pula dari para tahanan itu adalah wanita. Seorang ibu. Bayangkan anak-anak mereka takkan bisa tumbuh besar bersama dampingan kasih sayang ibunya. Mereka hanya akan melihat sang ibu ketika mereka tumbuh dewasa dengan wajah yang boleh jadi sulit dikenali oleh ibu mereka sendiri.

Amat miris. Teramat menyedihkan.

Membaca buku ini membuatku terpikirkan apa makna kebebasan sesungguhnya. Ali Alamuodi (salah satu tahanan yang ada kisahnya di dalam buku ini) mengatakan, “Tidak ada yang memahami arti kebebasan kecuali mereka yang pernah kehilangan hal tersebut.”

Kupikir itu benar. Aku (kami semua yang hidup di negara merdeka) menjalani kebebasan kami tanpa mengerti apa itu makna kebebasan. Kami besar bersama kedua orangtua. Kami bersekolah dari dasar sampai jenjang setinggi-tingginya. Kami berkarir seperti cita-cita kami. Kami beragama sebagaimana keyakinan yang kami percayai. Tanpa merasa adanya batasan untuk mendapatkan itu semua. Tanpa khawatir ada yang akan merampas itu dari kami. Kami merdeka, tapi kami tidak menyadarinya. Kami tidak tahu bahwa secuil dari apa yang kami miliki itu adalah sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan—yang tidak dimiliki rakyat Palestina. Bahkan secuil.

Aku setuju dengan penulis dan seluruh tim yang menyusun buku ini. Setiap orang di belahan dunia manapun—terutama mereka yang tinggal di tanah merdeka—perlu sekali membaca buku ini. Agar tidak hanya matanya yang terbuka, tapi juga hati dan pikirannya.

Ada sisi humanis yang disentuh setelah membaca buku ini. Menguji sejauh mana rasa empati kita. Akankah terus menutup mata dengan ketidakadilan? Akankah sekadar mengelus dada dan turut prihatin? Atau akankah lahir tindakan nyata untuk menolong mereka?

Recommended book.