CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 18 September 2016

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu: Refleksi Makna Kehilangan

Aku tidak akan menulis panjang tentang buku ini. Karena aku sama sekali tidak mahir menulis review, menilai karya orang. Tapi aku akan menulis ulasan mengenai buku ini sebagai seorang pembaca, penikmat kisah-kisah kaya makna.

Judulnya Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Terdengar indah dan romantis, bukan? Bahkan pada awalnya kupikir ini adalah novel romens Tere Liye ke sekian. Nyatanya aku salah. Ini bukan kisah cinta sepasang anak manusia. Tapi ini adalah kisah seorang anak manusia dengan Tuhannya.

Setelah menamatkan novel ini hingga halaman terakhir, aku pun mengerti hakikat dari judul itu. Mungkin seharusnya bukan Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Tapi Rembulan Tenggelam Di Wajah-Mu.

Ini adalah kisah perjalanan hidup. Perjalanan yang amat panjang dan berat, juga pahit, dari seorang anak manusia. Mengenai pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidupnya.

Seorang laki-laki tua bernama Ray, terbangun dari koma untuk dibawa kembali ke masa lalu, menapaki jejak-jejak kisah kehilangan, rasa sakit, serta pertanyaan-pertanyaannya yang belum pernah terjawab. Hidupnya yang penuh dengan ketidakberuntungan sejak kecil, membuatnya beranggapan hidup begitu tidak adil. Teganya takdir merenggut kebahagian yang bahkan hanya sedikit dia miliki. Betapa Tuhan tidak mempedulikannya. Dalam perjalanannya kembali ke masa lalu, pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengungkung hatinya pun terjawab satu demi satu.

Secara teknis penulisan dan gaya bahasa, aku tidak akan berkomentar lagi. Dengan ciri khasnya Tere Liye yang membawa larut semua perasaan pembaca ke dalam cerita, bahkan typo sepanjang kalimat pun boleh jadi tidak bakal terhiraukan. TL memang berbakat soal itu.

Aku juga akan mengabaikan absurdnya tokoh pria berwajah menyenangkan yang sepanjang cerita menemani Ray menjejaki masa lalunya. Tidak diceritakan secara gamblang dia itu siapa, atau apa. Mungkin TL membebaskan pembacanya berimajinasi tentang siapa sebenarnya tokoh ini.

Dan aku akan berusaha tidak mempermasalahkan kebetulan-kebetulan yang terjadi di dalam kisah ini. Kebetulan yang disengaja, sebetulnya. Kebetulan yang disebut dengan takdir di dalam kisah ini. Hubungan yang mengaitkan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Semua terjalin seperti rantai yang mengalung, ujung kepala dengan ujung ekornya pun terkait. Jika dipikirkan lebih dalam, memang terasa alur ceritanya dipaksakan. Namun aku paham alur seperti ini dibutuhkan untuk membuat kisahnya jadi utuh. Tapi tidak mengapa lah. Kisahnya jadi mengalir karena cara TL menjalin kejadian demi kejadian begitu tertata rapi, dan ya... mengalir bagai air.

Sebetulnya aku ingin memuji novel ini. Jika boleh memberi rating, aku akan beri 9 dari 10 bintang. Karena ini adalah novel terindah yang pernah kubaca.

Aku dua kali menangis saat membaca novel TL. Pertama di Bidadari-Bidadari Surga, kisah keluarga yang amat menyentuh. Ke dua ya di novel ini. Nilai-nilai kekeluargaan memang selalu membuat mataku berair. Tapi di novel ini hatiku tersentuh oleh pelajaran terhadap keikhlasan menjalani takdir.

Seperti Ray di novel ini, setiap orang pasti pernah bertanya paling tidak satu kali. Apakah hidup ini adil?
Bukan hal asing lagi melihat orang baik hidupnya lebih banyak susahnya, sementara orang-orang yang hidup enak itu belum tentu mendapatkan semua kenikmatan hidupnya dengan cara yang baik.

Seperti Ray di novel ini, setiap orang pasti pernah merasakan pahitnya kehilangan.

Entah itu kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan harta-benda, kehilangan pekerjaan... Kehilangan kepercayaan juga disebut kehilangan, bukan? Pasti meninggalkan rasa sakit. Meskipun tiap orang berbeda-beda, ada yang hanya sebentar sudah terbiasa, mulai mampu menerima. Ada yang lama baru bisa bangkit. Bahkan ada yang tidak bisa move on sama sekali, terpuruk. Bagaimana pun akhirnya, berapa lama pun dialami, rasanya tetap menyakitkan.

Dan kita cenderung menyalahkan setelah kehilangan itu. Menyalahkan apa saja. Siapa saja. Bahkan ada yang berani menyalahkan Tuhan. Betapa Tuhan tidak adil merampasnya dariku.

Begitu juga yang direfleksikan dari seorang Ray dalam kisah ini. Sakitnya kehilangan. Pahitnya ketidakadilan. Semua jadi satu amarah yang dilemparkan menjadi kekecewaan pada Sang Pemilik Kehidupan, Sang Penentu Takdir.

Namun di sini pun Ray dituntun kembali ke jalan yang benar, ke pemahaman yang lurus. Satu per satu menyibak masa lalunya. Sedikit demi sedikit dia mengerti arti dari garis ketetapan takdir itu.

Bahwa hidup ini adalah sebab-akibat. Hidupmu, apapun yang kaulakukan, segala yang kauperbuat, adalah menjadi sebab bagi hidup orang lain.

Seperti sepotong kisah yang diceritakan pria berwajah menyenangkan pada Ray. Tentang seorang Arab tua yang tinggal sendirian di sebuah gurun pasir. Ketika semua sanak keluarganya meninggalkan gurun itu, entah mengapa dia tetap di sana. Tinggal hingga mati sendirian di rumah kecilnya di tengah gurun gersang itu. Si Arab tua pikir hidupnya sia-sia. Tapi tanpa dia tahu, di hari ketika dia meninggal, datang sekelompok musafir melewati rumahnya. Salah seorang dari mereka berhenti untuk memakamkan si Arab tua. Namun kawanannya memilih melanjutkan perjalanan karena tidak ada apa-apa di rumah si Arab tua, bahkan makanan untuk menambah bekal perjalanan mereka. Setelah selesai memakamkan, musafir yang tertinggal ini melanjutkan perjalanan dan betapa terkejutnya dia menemukan kawanannya tergeletak tanpa nyawa, dihabisi bandit gurun

Lihatlah. Jika si Arab tua tidak meninggal hari itu, tidak akan ada musafir yang tinggal untuk punya alasan selamat dari gerombolan bandit. Lihatlah. Kematian seseorang menyebabkan kehidupan bagi orang lain.
Hidup adalah sebab-akibat.

Tidak perlu sedih berkepanjangan ketika nilai ulanganmu jelek. Boleh jadi kamu akan belajar lebih giat, memahami apa kekurangan dirimu, sehingga pada ulangan berikutnya kamu lebih siap dan berhasil mendapatkan nilai lebih tinggi. Boleh jadi peringkat satu dari seluruh siswa satu sekolah.

Tidak perlu sedih berkepanjangan ketika kamu tidak lolos seleksi perguruan tinggi favoritmu. Boleh jadi namamu tersingkir oleh puluhan ribu calon mahasiswa lain. Boleh jadi nomor urutmu hanya selisih satu angka. Tapi setelah itu semua, ternyata kamu mendapat undangan beasiswa untuk sekolah di luar negeri.

Tidak perlu sedih berkepanjangan ketika kamu tidak diterima kerja di perusahaan yang kamu impikan. Boleh jadi perusahaan itu akan bangkrut beberapa tahun kemudian, kamu justru kena PHK. Boleh jadi setelah lamaran kerjamu ditolak, tawaran kerja justru datang dari tempat yang tidak kamu sangka-sangka.

Ya, itu hanya contoh kecil. Ada ribuan, jutaan, bahkan milyaran kehilangan yang sebenarnya menyimpan arti, menyembunyikan makna yang harus kita temukan lewat prasangka-prasangka baik.

Tidak ada yang perlu disesali dari apapun yang terjadi dalam hidup ini. Sungguh tidak ada.

Novel ini mengingatkan kita, para pembaca, untuk selalu berprasangka baik pada Tuhan. Untuk selalu percaya pada janji-janji-Nya. Bukankah Dia tidak pernah ingkar janji? Dan janji-Nya adalah benar.

Aku akan mengutip kalimat paling hebat sepanjang kisah ini. Kalimat paling sakti.

"Ada satu janji Tuhan yang sungguh hebat, yang nilainya beribu kali tak terhingga dibandingkan menatap rembulan ciptaan-Nya. Yaitu janji menatap wajah-Nya. Menatap wajah Tuhan. Tanpa tabir, tanpa pembatas. Saat itu terjadi, maka sungguh, seluruh rembulan di semesta alam akan tenggelam tiada artinya."