CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 20 Maret 2016

[REVIEW] Red Cliff: Pertempuran Di Tebing Merah

Entah kenapa ada sesuatu yang membuatku tertarik untuk menonton film ini. Padahal aku bukan penggemar film kolosal, apalagi Kerajaan Cina zaman dulu. Tapi saat pertama kali melihat film ini tayang di sebuah stasiun TV nasional (part 1), tanganku tidak lantas bergerak memencet tombol di remote untuk ganti channel. Tiba-tiba mataku terpaku pada layar ketika mengenali wajah salah satu pemainnya. Takeshi Kaneshiro. Well, mungkin karena dia aktor Jepang, aku jadi penasaran bagaimana ceritanya dia bisa main di film produksi negeri tirai bambu (bukan hal yang aneh sih sebenarnya, tapi lebih curious melihat bagaimana dia bermain di film non Jepang). Dan semakin lama aku menonton film ini, semakin banyak hal menarik yang bisa kutemukan.

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Cerita dimulai dengan pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei bersama rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran penasihatnya, Zhuge Liang (Takeshi Kaneshiro), mereka membentuk aliansi dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Kedua pihak sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao. Dan pasukan aliansi ini dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Shido Nakamura) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit aliansi terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk bisa mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.

Film ini mengingatkanku pada film kolosal Hollywood yang tayang 4 tahun lebih dulu. Troy. Sama-sama film bertema perang, sama-sama memperlihatkan strategi perang yang luar biasa sebagai salah satu daya tariknya. Tapi menurutku, taktik perang dalam Red Cliff tampak lebih menarik dan cerdas. Jika Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse yang dipakai pasukan Achilles untuk menembus benteng Kerajaan Troya, sementara Red Cliff menggunakan taktik arah angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Tidak hanya itu, masih banyak taktik lain yang membuatku sebagai penonton ternganga kagum. Seperti taktik milik Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh (agak ngakak juga di bagian ini, karena pasukan Cao Cao benar-benar dibodohi). Atau taktik pertahanan dari serangan pasukan Cao Cao yang dipakai Zhou Yu yang membuat kepalaku menggeleng-geleng kagum.

Selain strategi-strategi cerdas itu, film ini juga mengandung nilai-nilai humanis, patriotis, dan sarat akan seni budaya. Minum teh bagi kita adalah hal yang biasa. Tapi bagi bangsa Cina, minum teh adalah seni yang mengandung makna khusus. Ada cara-cara khusus untuk menyeduhnya, juga saat menyajikannya. Tiap tahap memiliki filosofi mendalam. Kesenian dalam bermusik bagi bangsa Cina juga bisa menjadi media komunikasi antara pemain yang satu dengan yang lainnya. Seperti ketika Zhuge Liang dan Zhou Yu sama-sama memainkan alat musik semacam kecapi (entah apa namanya). Dalam balas-membalas nada seakan-akan mereka saling bicara. Dan yang membuatku salut sepanjang film ini adalah unsur cinta damai. Pasukan aliansi memilih berperang demi mempertahankan kedamaian, bukan semata-mata mengincar kemenangan atas kekuasaan wilayah atau demi membuktikan bahwa mereka lebih hebat daripada pasukan Cao Cao. Kekuatan serta kekuasaan diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus. Memesona, namun tidak lebih indah daripada kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang menurutku sangat bagus. Menunjukkan bahwa inti dari perang bukanlah tentang perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang menjadi korban. Dilepasnya seekor kuda peliharaan Zhou Yu dan istrinya pada scene terakhir menjadi simbol sebuah kebebasan yang membawa perdamaian.

Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini tidak sepenuhnya berdasarkan sejarah, hanya 50% saja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Kurasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Tebing Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni. Tidak melulu tentang pertumpahan darah, ambisi terhadap kekuasaan; tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan tidak monoton. Mungkin inilah yang membuat Red Cliff menjadi film kolosal yang begitu menarik dan sayang dilewatkan.

Recommended!


pic from: pangeran229.wordpress.com

Kamis, 17 Maret 2016

Catatan Dari Balik Penjara Israel

Buku ini adalah salah satu hasil perburuanku di Islamic Book Fair 2016 minggu lalu. Teringat pada saat aku berkeliling di tengah orang-orang berdesakan, mataku tiba-tiba tertuju pada buku ini yang terletak di susunan teratas. Judulnya langsung membuatku tertarik pada detik pertama aku melihatnya. Catatan Dari Balik Penjara Israel. Belum lagi sampul bukunya yang terbilang tak kalah menarik. Seorang laki-laki memegang bendera Palestina, terduduk sendirian di balik bayang-bayang jeruji penjara. Benar-benar memancing rasa ingin tahu, bukan?

Bukunya tidak terlalu tebal, hanya sejumlah 128 halaman. Berisi 23 kisah tahanan Palestina di penjara Israel. Ditulis oleh Norma Hashim, seorang relawan Malaysia, yang memiliki tekad besar untuk membuka mata dan hati masyarakat dunia terhadap penderitaan para tahanan Palestina.
Rasanya cukup sulit menyelesaikan buku (tipis) ini. Meskipun kisahnya pendek-pendek, tetap berat rasanya bagiku untuk membayangkan apa yang mereka ceritakan. Para tahanan itu. Karena ini adalah kisah nyata, penderitaan mereka bukan karangan belaka yang dijual demi keuntungan materi seperti cerita dalam novel. Kepahitan dan duka yang mereka jalani hampir separuh hidup mereka di dalam penjara benar-benar terjadi ketika orang-orang di belahan dunia lain terlena dengan kebebasannya. Mungkin kita tidak pernah tahu, atau tidak pernah menyadari, bahwa selagi kita punya banyak kesempatan untuk melakukan apa saja yang kita inginkan, mencapai apapun impian kita, ada orang-orang seperti para tahanan Palestina yang bahkan melihat cahaya matahari saja tidak bisa. Kebebasan adalah harga yang sangat mahal bagi mereka.

Mirisnya banyak dari mereka ditangkap dan dijadikan tahanan meskipun tidak memiliki kesalahan apapun. Mereka bukan tentara atau pejuang, mereka hanya warga sipil; hanya seorang anak yang sedang menikmati kehangatan bersama ayah dan ibunya, hanya seorang ibu yang memiliki beberapa orang anak yang masih kecil-kecil; hanya seorang pemuda yang baru menikah dan akan jadi ayah. Mereka bahkan tidak tahu alasan mengapa tentara Israel membawa paksa mereka dari rumah mereka yang hangat, menjebloskan mereka ke dalam penjara yang sempit dan gelap. Mereka harus mendekam di balik dinginnya dinding penjara selama puluhan tahun (kebanyakan di atas 20 tahun). Harus terpisah dari orang-orang yang mereka cintai. Harus membiarkan anak-anak mereka lahir dan besar tanpa mereka. Dan mereka tidak tahu alasan mengapa mereka harus menjalani itu semua.
Satu alasan yang paling masuk akal atas penahanan itu adalah: karena mereka orang Palestina.
Mungkin mereka keras kepala, keras hati, keras keinginan. Mereka dijajah puluhan tahun, dari generasi ke genarasi, ditindas dengan cara apapun. Namun mereka masih tegak berdiri di tanah kelahiran mereka, tidak sejengkal pun mau menyerah apalagi angkat kaki. Boleh jadi kegigihan merekalah yang harus mereka bayar dengan kebebasan.

Beberapa informasi yang kudapat dari cerita di dalam buku, para tahanan ini diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka disiksa secara fisik maupun psikis. Yang sakit dibiarkan membusuk. Atau jika mereka boleh berobat, mereka sembuh hanya untuk disiksa kembali. Kunjungan keluarga juga dibatasi. Ada yang sudah ditahan bertahun-tahun baru mendapat kunjungan keluarga—itu pun hanya beberapa menit, dan pertemuan mereka dibatasi oleh dinding kaca tebal, hanya bisa saling mendengar suara dengan pesawat telepon.

Tidak sedikit pula dari para tahanan itu adalah wanita. Seorang ibu. Bayangkan anak-anak mereka takkan bisa tumbuh besar bersama dampingan kasih sayang ibunya. Mereka hanya akan melihat sang ibu ketika mereka tumbuh dewasa dengan wajah yang boleh jadi sulit dikenali oleh ibu mereka sendiri.

Amat miris. Teramat menyedihkan.

Membaca buku ini membuatku terpikirkan apa makna kebebasan sesungguhnya. Ali Alamuodi (salah satu tahanan yang ada kisahnya di dalam buku ini) mengatakan, “Tidak ada yang memahami arti kebebasan kecuali mereka yang pernah kehilangan hal tersebut.”

Kupikir itu benar. Aku (kami semua yang hidup di negara merdeka) menjalani kebebasan kami tanpa mengerti apa itu makna kebebasan. Kami besar bersama kedua orangtua. Kami bersekolah dari dasar sampai jenjang setinggi-tingginya. Kami berkarir seperti cita-cita kami. Kami beragama sebagaimana keyakinan yang kami percayai. Tanpa merasa adanya batasan untuk mendapatkan itu semua. Tanpa khawatir ada yang akan merampas itu dari kami. Kami merdeka, tapi kami tidak menyadarinya. Kami tidak tahu bahwa secuil dari apa yang kami miliki itu adalah sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan—yang tidak dimiliki rakyat Palestina. Bahkan secuil.

Aku setuju dengan penulis dan seluruh tim yang menyusun buku ini. Setiap orang di belahan dunia manapun—terutama mereka yang tinggal di tanah merdeka—perlu sekali membaca buku ini. Agar tidak hanya matanya yang terbuka, tapi juga hati dan pikirannya.

Ada sisi humanis yang disentuh setelah membaca buku ini. Menguji sejauh mana rasa empati kita. Akankah terus menutup mata dengan ketidakadilan? Akankah sekadar mengelus dada dan turut prihatin? Atau akankah lahir tindakan nyata untuk menolong mereka?

Recommended book.