CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 01 Oktober 2014

Krisis

Saat akan menulis ini pun aku masih tidak tahu ingin menulis apa. Aku hanya ingin menulis, seperti kebutuhanku untuk menangis; yang mana menurut penelitian para ahli kejiwaan, menahan tangis mampu mengakibatkan sakit yang sebenarnya pada fisik maupun mental. Sepele tapi fatal ya.... Aku pun rasanya bisa gila jika tidak menuangkannya dalam tulisan.

Pagi ini aku bahkan menunda persiapan harianku sejenak. Kuharap kantor bisa menunggu.

Aku... entahlah. Rasanya ada banyak hal yang kupikirkan. Bukan baru sekarang atau belakangan ini. Tapi sudah lama sejak beberapa bab aku menuliskannya. Ini tentang satu cerita yang kutulis. Di tengah jalan, aku menyadari ada yang salah dengan cerita itu. Tidak, bukan ada tapi banyak. Dan itu didukung oleh kritikan-kritikan yang datang dari pembaca. Keraguanku pun menjadi-jadi. Tak yakin melanjutkannya, karena aku akhirnya tak lagi punya alasan untuk itu. Mood menulisnya menguap sempurna, ditambah lagi dengan writers block yang menyerangku tanpa bosan, dan semua sempurna ketika aktivitas di kehidupan nyata menyita fokusku. Aku putuskan berhenti. Aku menyerah pada kegagalan ini. Ya, cerita itu akhirnya hanya menjadi kisah yang gagal. A fatal failure.

Entah bagaimana di hari kemudian aku menginginkan untuk meneruskannya. Satu sisi diriku merasa harus menamatkannya. Karena aku ingat, aku pernah membuat prinsip; aku akan menyelesaikan semua yang sudah kumulai. Mungkin itu satu alasan kuat--ketika itu--bagiku untuk melanjutkannya, selain dukungan dari pembaca setia cerita itu. Jadi, aku berhasil menulis beberapa bab lagi. Sebelum akhirnya aku jatuh pada krisis yang sama. Pelan-pelan aku menemukan melemahan cerita ini--bodohnya aku, itu sudah kurasakan sejak awal. Kupikir memaksakan diri untuk terus melanjutkannya adalah keputusan keliru. Sekarang jangan-jangan moodku sudah benar-benar lenyap.

Mau tahu apa yang kubenarkan dari komentar para kritikus setelah membaca ceritaku? Jalan ceritanya terlalu dipaksakan. Seperti kisah sinetron. Konflik tidak jelas. Terlalu rumit. Tokoh utama tidak mendominasi cerita. Alurnya terlalu lambat. Genre tidak sesuai. Tokoh utamanya dibuat terlalu sempurna. Banyak adegan tidak penting. Nah, fatal failure.

Aku membenarkan semuanya. Karena itu pula yang kurasakan dari cerita itu. Terima kasih untuk para kritikus. Serius. Tapi amat disayangkan mereka menyampaikan kritik tanpa menunjukkan siapa diri mereka. Aku tidak tahu apakah karena mereka takut aku akan membenci pribadi mereka karena telah menyampaikan sesuatu yang buruk dari ceritaku padahal itu benar. Atau mereka tidak serius memberiku kritik, tidak lebih dari cara jahat untuk menjatuhkan moodku saja--padahal apa yang mereka sampaikan sebetulnya benar. Aku berharap dugaan ke dua tadi keliru. Apapun itu, kritikan mereka benar. Aku memang sudah gagal.

Sekarang aku belum tahu apa yang akan kulakukan untuk ini. Yang jelas moodku tidak lagi ada untuk melanjutkannya. Aku berencana menghapusnya saja, karena sampai saat ini aku belum melihat solusi terbaik. Pertama, sepertinya aku tak lagi punya kemampuan menulis yang baik--paling tidak untuk cerita ini--karena benang merahnya sudah hancur berantakan. Ke dua, aku sulit memusatkan fokus pada sesuatu yang tidak lagi kuinginkan. Jadi, kemungkinan untuk mengakhiri ceritanya di tengah jalan lebih besar.

Aku masih akan memikirkannya. Mungkin untuk beberapa hari lagi ke depan.

Sudah waktuku untuk berangkat ngantor....

[Jakarta, 1 Oktober 2014 | 06.10 WIB]

Kamis, 20 Maret 2014

Luruskan Orientasi: Ingin Menulis, atau Ingin Jadi Penulis?

Mem-posting ulang tulisan Juliana Baggot di Writer Unboxed. Setelah membaca ini, saya jadi berpikir ulang tentang minat saya, ke mana orientasi saya sebenarnya dalam menulis. Mungkin temen-temen pembaca juga bisa terbantu sedikit dengan tulisan ini. Btw, ini saya translate dari bahasa aslinya (maaf, nggak sempurna karena kemampuan Bahasa Inggris saya terbatas :p)

Dengar, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Kau ingin menulis, atau kau ingin jadi penulis? Kuharap jawabannya adalah kau ingin menulis, karena menjadi penulis tidak sebaik itu.
Ini yang kuberitahukan pada tiap orang yang mengatakan padaku ingin menjadi penulis.Butuh 3-4 jam dalam sehari untuk dibimbing latihan. Aku berhenti sejenak, selama sepuluh tahun (berdasarkan karya Anders Ericsson pada keahlian). Orang-orang yang lebih gentar memiliki hasil yang lebih baik.
Aku mendapat email dari orang-orang yang menginginkan anaknya dipublikasikan. Jangan, kukatakan. Biarkan mereka mencintai karyanya dulu.
Aku mendapat email dari penulis hebat yang sudah berhenti menulis. Jangan berhenti, kubilang. Ingatlah kau pernah mencintai tinta ini, rimba kata ini yang kaubuat, anak ini berjalan melewatinya--bernapas lewat mulut yang terbuka. Mainkan lagi. Turunkan ukurannya. Jangan pikirkan apapun selain orang pertama yang membuatmu jatuh cinta. Ceritakan pada mereka sebuah kisah.
Aku mendapat email dari beberapa teman yang anak-anaknya tumbuh dengan mimpi menjadi seorang penulis. Mereka meminta saran. Aku berikan saran yang sama seperti saran tentang pernikahan--lakukan ini hanya jika kau terpaksa, jika tidak ada yang bisa menghentikanmu.
Aku mendapat sebuah novel dari novelis muda yang baik. Aku membaca beberapa lembar dan berkata, "Ceritakan padaku tentang seorang tetangga gila, pekerjaan yang buruk, rumor kematian yang pernah kaudengar, air, atau api..." Di sanalah dia. Di mana aku bisa menemukan kebenaran. "Tulislah itu."
Apa yang teringat adalah sesuatu yang bernilai. Itu terjadi karena suatu alasan.
Seperti ketika kau punya rahasia. Pada siapa kau akan membaginya? Pada siapa kau akan menyembunyikannya? Kenapa? Tanyakan pada dirimu hal yang sama. Cerita-cerita yang ingin kita bagi--dan yang membuat kita menolak untuk menyerah--adalah hal terbesar yang paling berharga dari diri kita.
Barangkali kau menulis karena kau kesepian. Kau mungkin berhenti ketika kau jatuh cinta. Ingatl kita masing-masing hanyalah diri dan halaman selalu ada.
Barangkali kau menulis karena memiliki kisah untuk diceritakan. Tidak bisa kubayangkan Hercules belajar menulis hanya untuk satu cerita, tapi beberapa cerita membara seperti itu, aku pernah mendengarnya.
Barangkali kau menulis untuk mendapatkan lencana di bahumu. Lencana mungkin menjadi sesuatu yang baik bagimu. Tapi mungkin kau harus memolesnya dari waktu ke waktu.
Atau barangkali kau menulis karena kau butuh. Kebutuhan adalah bagian terbaik dari kedisiplinan. Halaman tidak membutuhkan kita. Tidak pernah seperti itu, dan tidak akan pernah terjadi.
Tapi kebutuhan terus ada. Seperti sebuah mesin yang menggerakkan, menggerakkan, dan terus menggerakkan. Memiliki kemauannya sendiri. Dia bilang, "Sepuluh tahun? Aku akan memberimu seumur hidup."

Tulisan aslinya bisa dilihat di sini.