CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 29 Agustus 2016

Sedekah Ginjal

Oke, judul di atas tidak semerta-merta bermakna secara harfiah dalam kisah yang akan kuposting ulang di bawah ini. Namun dalam kisah ini kita bisa banyak belajar memaknai besarnya manfaat sedekah dan tulusnya sebuah pemberian. Silakan disimak.

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~

Seorang ibu usia lanjut yang kaya raya akan melakukan transplantasi/cangkok ginjal untuk kelanjutan hidupnya. Setelah melalui proses seleksi yang ketat, ternyata satu di antara calon donor yang memenuhi syarat adalah seorang ibu muda yang miskin.

Saat tiba waktunya, kedua ibu ini harus bermalam di RS untuk  mempersiapkan operasi cangkok ginjal. Di pagi hari yang telah ditentukan sebelum masuk ke ruang operasi, ibu kaya ingin bertemu ibu miskin yang bersedia menjadi pendonor ginjal. Namun di depan kamar, ibu kaya mendengar ibu pendonor ginjal sedang menangis. Setelah diketuk berkali-kali, pada akhirnya pintu pun dibuka.

Ibu kaya kemudian memperkenalkan diri. Lalu dia bertanya, "Apa yang menyebabkan ibu menangis?"

"Saya terpaksa menjadi pendonor ginjal karena saya sangat membutuhkan uang. Suami saya telah meninggal. Saya harus memelihara tiga anak saya yang masih perlu biaya untuk sekolah. Saya sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini seandainya saya punya uang," ujar ibu pendonor ginjal dengan penuh harap.

Mendengar penuturannya, ibu kaya merasa terharu. Sejenak kemudian dia berkata, "Saya sudah tua, sudah begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada saya. Saya pikir saya tidak perlu lagi ginjal. Kalau Allah menghendaki biarlah saya meninggal dengan penyakit ini. Ambillah uang itu sebagai sedekah dari saya. Untuk membiayai hidupmu dan biaya sekolah anak-anakmu. Saya ikhlas dengan penyakit ini."

Operasi akhirnya dibatalkan. Kedua ibu itu masing-masing kembali ke rumahnya.

Setelah beberapa lama, ibu kaya itu tidak lagi mengalami masalah dengan fungsi ginjalnya. Dia kembali melakukan cek ke RS dan ternyata dokter terkejut, karena ginjalnya kini berfungsi dengan baik.

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~

 Secara medis hal seperti kisah di atas tidak mungkin terjadi. Namun bagi orang yang beriman, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Berkehendak.

Para pakar kesehatan mengatakan kesembuhan seperti ini disebut dengan "Quantum Healing". Proses yang terjadi tidak bisa dijelaskan oleh ilmu kedokteran. Saat ini, para ahli hanya bisa menjelaskan ada mekanisme psikoneuroendokrinimunologi, yakni mekanisme yang bermula dari kalbu / iman atau pikiran yang nantinya memengaruhi sistem persyarafan dan seterusnya memengaruhi fungsi hormonal dan sistem kekebalan tubuh dalam mencegah atau menyembuhkan suatu penyakit.

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." [QS. Asy-Syu'ara' (26): 80]

Sejatinya seorang muslim yang beriman kepada Allah, hanya mengharap kepada Allah sajalah segala sesuatu. Termasuk dalam hal mengharapkan kesehatan. Secanggih apapun ilmu kedokteran, sesakti apapun dukun yang dipercaya bisa menyembuhkan, tapi jika Allah tidak berkehendak sembuh maka penyakit itu tak akan sembuh. Maka hanya kepada Allah sajalah orang-orang beriman berharap.

Dari kisah di atas bisa kita renungkan bahwa penyakit tidak harus sembuh hanya dengan penanganan medis. Ketika kita ikhlas menerima penyakit itu dalam artian berprasangka baik pada Allah, boleh jadi Allah menurunkan penyakit pada kita untuk menguji kesabaran kita, untuk membuat kita kembali dekat kepadanya, boleh jadi Allah merindukan rintih tangis kita memohon kepadanya. Maka ketika kita telah menerima dengan lapang hati, tentu beban itu akan terasa berkurang.

Dan salah satu keajaiban sedekah boleh jadi mendatangkan kesembuhan atas penyakit-penyakit kita. Lihatlah ibu kaya dalam kisah di atas. Ketika dia dengan ikhlas menerima penyakit yang menimpanya, dan dia akhirnya memutuskan menyedekahkan uang yang seharusnya menjadi biaya operasi serta bayaran untuk pendonor ginjal justru untuk diberikan cuma-cuma pada si pendonor. Si ibu kaya tidak mengharapkan sembuh, karena tak ada lagi beban atas penyakitnya. Namun Allah berkehendak lain. Allah menghadiahkan kesembuhan untuknya, boleh jadi berkat ketulusan hatinya dalam bersedekah.

Wallahu'alam

Semoga bermanfaat :)

Jumat, 26 Agustus 2016

Pengharum Nama Bangsa Yang Tak Diperhatikan

Pagi ini ketika aku membuka chat grup di WhatsApp, hati ini terenyuh membaca satu repost. Dan ini ingin kubagikan ke semua orang dengan satu harapan: semoga pandangan kita terhadap "membanggakan bangsa" itu tidak hanya dinilai dari kriteria duniawi saja.

Silakan disimak.

=======================================================================

Balada RIO dan MUSA

Kedua nama ini sedang menjadi trending topik di media sosial tanah air maupun dunia. Mereka adalah Musa sang hafidz dan Rio Hariyanto. Kedua anak bangsa ini berjuang menjadi yang terbaik di dunia dalam pertarungan di medan mereka masing masing. Musa sang hafidz sedang bertarung menjadi penghapal Al-Qur'an terbaik di dunia. Sementara Rio sang pembalap bertarung menjadi manusia tercepat di dunia. Mereka adalah aset bangsa yg langka. Di pundak mereka harga diri bangsa dicoba diangkat tinggi-tinggi.

Namun ... perlakuan kepada keduannya sangat berbeda.

RIO sang pembalap, begitu gegap gempita, asa kemenangan begitu tinggi walau sebenarnya tidak pernah memulai pitnya di 10 besar pada saat start. Dengan dukungan dana yang melimpah, 15 juta euro (hitung sendiri kalau dirupiahkan), yang diberikan para sponsor perusahaan-perusahaan besar di negeri ini. Wajar bila kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam ajang balap mobil paling bergengsi di dunia dapat menjadi kenyataan.

Sementara itu kita lihat MUSA. Sang hafidz cilik, hanya dengan modal kegigihannya yang besar, sungguh minim bahkan hampir tidak ada sponsor yang terdengar mendanai keikutsertaannya di ajang kompetensi penghapal Al - Quran Internasional di Mesir. Namun dengan rahmat Allah, Musa mampu meraih tempat terhormat dengan menjadi juara ke tiga ... di DUNIA!

Lihatlah betapa ketidakadilan sedang berlangsung di negeri ini. Segala lapisan kehidupan sosial masyarakat, tanpa rasa keadilan oleh negara, media hanya memberitakan yang sesuai dengan kepentingannya. Bahkan nama Kementerian Agama pun yang semestinya menyertai perjalanan Musa, tak pernah disebutkan.

Betapa berita kemajuan tentang Islam telah menjadi anak tiri di negeri muslim terbesar di dunia. Sungguh ironis.

Perkenalkan. Ini Musa, seorang penghapal Al-Qur'an cilik. Usianya baru 7 tahun. Bicaranya bahkan masih cadel. Namun lihatlah prestasinya melimpah. Bukan saja terbaik se-Indonesia, tapi juga se-Dunia dalam ajang kompetisi penghapal Al-Qur'an. Yang terbaru 14 April 2016 kemarin, dengan Batik Nusantara khas Indonesia, Musa berhasil jadi Juara 3, mengalahkan 80 peserta dari 60 Negara Musabaqah Hifzil Al-Qur'an International di Mesir. Hebatnya lagi, Musa adalah peserta termuda sedangkan peserta lain berusia rata-rata di atas 10 tahun.

Tetesan air mata haru, kagum, mengiringi Musa saat tiba giliran menjawab pertanyaan dan uji coba dari Juri yang tentu saja penguji-penguji kelas dunia. Soal-soal dijawabnya dengan tenang. Selesai lomba, yang berlomba kemudian adalah penonton. Berlomba berfoto dan mencium kepala Musa. Kagum! Bahkan Presiden Mesir memberi penghargaan khusus buat adik kita itu.

Itulah dia Musa. Seorang putra bangsa Indonesia. Ia tak butuh trilyunan rupiah sekedar untuk mengharumkan nama bangsa. Ia juga tak perlu mengemis sponsor milyaran untuk sekedar mengharumkan nama bangsa. Ia juga tak perlu merepotkan negara ratusan milyar. Bahkan tanpa menodong kementrian agar pegawainya potong gaji, untuk sekadar mengharumkan nama bangsa. Ya! Ia tak perlu semua itu untuk sekadar terkenal di dunia. Paling keren kita hanya mendapat berita kemenangan nasionalnya di salah satu stasiun TV. Karena standar definisi "Bangga" dan "Mengharumkan Nama Bangsa" masih belum kita sepakati dalam arti yang sama.

Tapi aku bangga padamu, Nak. Jika media mainstream tak memberitakanmu, biar kami saja yang mengabarkan tentangmu pada Indonesia, pada grup WA ini (atau kuposting ulang di blog ini atau media sosial lainnya, atau bahkan hanya dari mulut ke mulut).

Di tengah sesaknya berita politik yang menyampah, kita penuhi kabar negeri ini dengan berita baik. Berita positif. Berita gembira. Salah satunya dengan berita tentangmu. Agar bangsa kita bangga, dan menyadari bahwa negeri kita masih punya harapan, masih bisa berjaya tanpa mengeluarkan biaya setinggi langit. Tanpa minta minta dan mengemis.

=======================================================================

Terima kasih, MUSA ....

Semoga bermanfaat :)

Kamis, 25 Agustus 2016

Kebiasaan Penulis Fiksi

Hai!

Aku selalu sebal ketika dalam hati sudah berniat untuk rajin posting di blog, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Sungguh menyebalkan! Satu dan lain hal selalu bisa jadi alasan; tidak punya waktu luang lah, sibuk dengan hobi lain lah, tidak mood lah. Ada saja, kan? Memang sudah seperti fitrah saja ya jika manusia suka sekali membuat alasan--eh, atau hanya aku saja ya?

Baiklah. Lupakan saja soal itu.

Siang ini ketika waktu-waktu senggang di tengah jam kerja, aku iseng berselancar di dunia maya. Dan menemukan tips hebat untuk masalah tulis-menulis yang sangat menarik untuk disimak. Tips ini aku comot dari situs indonovel.com, yang meniru konsep dari Dr. Stephen R. Covey berjudul 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif (1989).

Pernah mendengar Hukum Pareto (Aturan 80/20)? Bahasa mudahnya, hukum ini mempresentasikan 80 % keberhasilan kita berdasarkan 20% dari apa yang kita kerjakan. Atau dengan kata lain, kita bisa mencapai keberhasilan 80% hanya dengan memaksimalkan usaha 20% saja. Jadi kesimpulannya, apa yang kita lakukan selama ini lebih banyak tidak efektifnya.

Jadi ... bagaimana solusinya?

Simak!

Kebiasaan Penulis Fiksi

1. Menjadi Proaktif

Ini salah satu solusi efektif mengatasi writers blog. Semua penulis tahu WB alias writers block sudah menjadi "penyakit" yang mudah sekali menyerang kami. Bahaya sekali kalau sudah kena, tulisanmu dijamin terabaikan jika penyakit ini tidak segera diobati. Serius! Aku (dan aku yakin banyak penulis lain) sering kali mengikuti tips apapun untuk menyembuhkan penyakit ini. Seperti mendengarkan musik, refreshing ke tempat-tempat baru, membaca karya penulis lain, dsb. Tapi sudah dilakukan pun belum juga berhasil. Kenapa? Karena saran-saran di atas adalah contoh solusi dari luar. Sementara WB adalah penyakit yang sebetulnya datang dari dalam diri sendiri.

Jadi beradasarkan konsep Covey, solusinya ada pada 2 pilihan:
Memilih kalah dan mencari pembenaran (lagi nggak mood, butuh tempat sepi, cuaca terlalu panas, menunggu datangnya inspirasi, dll)

atau...

Memilih untuk tetap menulis.


2. Menyusun Cerita Hingga Ending

Banyak dari penulis yang terbiasa langsung mengeksekusi tulisannya ketika muncul sebuah ide cerita, meskipun endingnya belum tahu akan seperti apa (maksudku, aku *haha). Padahal alangkah baik jika sebelum ditulis, kita sudah mengetahui akhir dari perjalanan tokoh dalam cerita kita.

Tambahan tips dariku: membuat outline. Ini akan memudahkan kita dalam menulis. Tidak perlu rinci, yang terpenting adalah poin-poin utama yang akan diceritakan. Jika sudah terbayang alurnya, runutan cerita, maka besar kemungkinan kita akan terhindar dari masalah kebuntuan ide di tengah jalan nanti.


3. Memprioritaskan Menulis

Kita (aku) sering mengatakan tidak punya waktu untuk menulis. Padahal untuk melakukan hal-hal lain yang tidak penting masih saja sempat (twitteran, facebookan, atau bahkan nonton TV). Sedikit kutipan dari situs sumber tips ini yang akan aku tebalkan dan garis bawahi:

Menulis bukan perkara Anda punya waktu atau tidak. Menulis adalah pilihan.

Setuju banget!

Jadi, jika menulis itu penting, maka prioritaskanlah waktu untuk menulis.


4. Mengerti Pembaca Sebelum Dimengerti

Pernah tidak sih merasa gusar sendiri ketika membaca review negatif untuk tulisanmu? Jujur, aku selalu kesal. Terlintas dalam pikiran, "Mereka berkomentar begini karena tidak bisa memahami ceritaku." Merasa bahwa tulisanku sudah sedemikian sempurna sehingga keberatan untuk dikritik.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi secara objektif, kritikan-kritikan itu ternyata ada benarnya. Padahal jika kita mau sedikit merendahkan hati dan mengesampingkan ego, kritikan seperti itu justru bisa menjadi masukan paling baik. Batu yang keras bahkan memiliki lubang walau kecil. Kritikan yang demikian itu adalah penambalnya.

Karena jika kita menolak kritik, kemampuan hanya akan jalan di tempat.


5. Mengasah Pena

Seperti gergaji yang akan tumpul jika tidak diasah, begitu juga dengan kemampuan menulis. Seorang tukang kayu akan berhenti sejenak untuk mengasah gergajinya. Maka kita sebagai penulis juga perlu sesekali berhenti dari kegiatan menulis untuk mengasah kemampuan kita. Cari refrensi terbaik, membaca buku-buku penulis lain dan mempelajari teknik menulisnya, atau menonton film untuk menemukan ide-ide segar.


Semoga bermanfaat ;)


sumber: indonovel