CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 18 Oktober 2015

Kecewa

Saat pertama kali tahu bahwa sepupunya yang tinggal jauh di desa seberang akan tinggal di ibukota untuk kuliah, hati Leny menyambut dengan suka cita. Setelah selama ini hidup tanpa saudara, menjadi anak semata wayang yang kesepian. Betapa tidak terbayangkan dia akan segera punya saudara. Perempuan pula. Dia akan punya teman bercerita sebelum tidur. Akan punya teman jalan-jalan. Akan punya teman bertukar pakaian. Pasti menyenangkan sekali.

Suka cita itu pun dimulai sejak Afi, sepupunya, datang ke rumah. Disambut Leny dengan senyuman ramah nan bersahabat. Saling bertukar cerita--meskipun terkendala oleh perbedaan bahasa--tapi itu tetap menyenangkan. Hampir sepuluh tahun Leny tidak pernah bertemu dengan sepupunya itu lagi. Terakhir Leny meninggalkannya saat dulu berkunjung ke desa, Afi masih bocah kecil ingusan yang belum sekolah. Sekarang dia telah berubah menjadi gadis muda yang riang.

Angan-angan menyenangkan yang sempat dibayangkan oleh Leny pun perlahan jadi kenyataan. Jika dulu Leny tidur larut malam karena menonton film di televisi, sekarang tidur larutnya karena seru bercerita dengan Afi. Jika dulu Leny berjalan-jalan mengitari rak-rak buku di toko sendirian, menonton film di bioskop sendirian, menjelajah gantungan-gantungan baju di departement store sendirian. Kini tidak lagi. Ada Afi yang menemaninya ke manapun dia melangkah.

Punya saudara ternyata menyenangkan. Leny tidak lagi kesepian.

Namun cerita bahagia itu tidak berlangsung lama. Orang bilang, buruknya seseorang akan terlihat semakin kita mengenalnya dengan baik. Dan itu benar. Satu per satu Leny menemukan sisi-sisi buruk sepupunya. Sisi-sisi menyebalkan dari Afi. Satu-dua membuatnya kesal. Satu-dua membuatnya jengkel. Hingga beberapa kali membuatnya geram. Dan terakhir, Leny benar-benar habis kesabaran. Sudah cukup. Sepupunya sudah sangat keterlaluan.

Suatu hari, ketika puncak kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun kepala, Leny memilih diam. Memencak-mencak hanya membuang energi. Maka diamnya Leny adalah marahnya. Sepupunya didiamkan. Diabaikan. Tidak dianggap.

Sang ibu yang mengetahui sikap diam Leny pada sepupunya itu segera menegurnya. Meminta pada Leny untuk tidak mendiamkan sepupunya, biar bagaimanapun Afi tetaplah saudaranya. Namun hati Leny sudah terlanjur mengeras oleh amarah yang dia pendam sejak lama. Ibunya menangis, menitikkan air mata demi menyaksikan kekerasan hati sang putri. Sayangnya itu pun tidak meluluhkannya. Leny bahkan meledak, matanya merah, tajam menatap sang ibu.

Hati Leny menjerit. Apakah ibunya tidak tahu siapa yang membuatnya bersikap demikian dingin dan keras seperti gunung es?

Salah siapa jika Leny jadi dingin? Salah siapa jika Leny jadi keras? Salah siapa jika Leny tidak peduli lagi?

Leny hanya kecewa. Tumpukan rasa kecewa yang mengendap di dalam hati telah mengeraskannya. Kecewa akan Afi. Kecewa akan saudara perempuan yang sudah lama dia idamkan kehadirannya.

Leny telah berusaha menjadi kakak yang baik untuknya. Memberinya banyak nasihat dan masukan. Itu karena rasa sayang Leny padanya. Tapi apa yang dilakukan Afi sebagai balasannya? Seakan-akan tak satu pun kata masuk ke dalam kepalanya. Kata-kata itu, kalimat-kalimat itu lewat begitu saja. Membuat Leny merasa dirinya seperti radio rusak, bersuara tapi tidak mau didengarkan. Satu-dua kali Leny mencoba bersabar. Namanya juga remaja, ABG labil, belum dewasa, itu terus yang diingatkan Leny pada dirinya sendiri akan kelakuan sepupunya. Namun satu-dua kali lagi Afi mengulangi kelakuannya, tidak mendengarkan. Lelah. Muak. Leny telah sampai pada batas kesabarannya. Sudah cukup.

Jika kata-katanya tak mau didengar, bukankah lebih baik diam? Toh Afi tidak suka mendengar Leny mengoceh, jadi buat apa bicara lagi dengannya.

Tapi yang dilihat ibunya tidak seperti itu. Di mata ibunya Leny-lah penjahatnya. Leny-lah yang telah berbuat kejam pada sepupunya sendiri. Leny yang salah. Leny yang egois. Leny yang tidak dewasa.

Sempurna sudah.

Leny yang tidak didengar ucapannya. Leny pula yang dituduh sebagai penjahatnya.

Hidup tidak pernah seindah angan-angan.

Minggu, 11 Oktober 2015

Sampai Kita Berjumpa Lagi

Seminggu belakangan entah berapa kali aku melihat seseorang yang mirip dengan seorang temanku, sahabat yang sudah seperti kakakku sendiri. Mbak Nunung. Entah berapa kali bertemu orang yang mirip dengannya. Maksudku bukan mirip wajah, tetapi melihatnya membuatku langsung teringat pada sosok Mbak Nunung. Di dalam kereta, ya aku melihatnya dalam perjalanan pulang, juga saat berangkat ke kantor.

Memang sudah lama juga aku tidak bertukar kabar dengannya. Terakhir yang kuingat, pertemuan kami saat pesta pernikahan adik iparnya, Anita, yang tidak lain teman sekantor kami dulu di salah satu bank swasta. Aku ingat dia tengah hamil muda saat itu. Setelah teringat padanya gara-gara bertemu orang itu di kereta, aku jadi berniat mengontaknya.

Kucoba hubungi dia via WhastApp chat. Dari tukar-kabar, berlanjutlah obrolan kami ke hal-hal lain. Menyenangkan sekali. Selalu menyenangkan bicara dengannya. Rinduku pun terpadamkan.

Kira-kira seminggu kemudian. Jumat pagi, seperti biasa aku mengecek ponsel setelah semalaman kumatikan data selulernya. Sudah menjadi ritual pagi sebelum sarapan. Pesan WhatsApp masuk di grup alumni bank swasta kantor lamaku. Saat kubaca, seketika aku terdiam. Tak percaya. Rasanya seperti mimpi. Apakah ini semacam lelucon?

Pesan itu dari supervisorku dulu. Juga kenal cukup dekat dengan Mba Nunung, mengabarkan bahwa Mba Nunung meninggal tadi malam....

Aku sungguh-sungguh mengira mereka bergurau. Jika benar, itu bukan lelucon yang bagus. Tapi kemudian aku menyadari bahwa itu bukan gurauan, setelah membaca pesan dari Anita, memintakan maaf jika ada kesalahan-kesalahan Mbak Nunung selama hidupnya.

Innalillahi wa innailaihi roojiuun. Masya Allah, bukannya aku bermaksud menentang ketetapan Allah. Tapi rasanya aku masih sulit percaya. Baru seminggu yang lalu aku mengobrol dengannya. Tak ada tanda apapun, bahkan dari obrolannya aku bisa merasakan bahwa Mba Nunung tengah bahagia menikmati masa-masa kehamilannya. Tak ada keluhan apapun. Siapa yang menyangka esok hari dia telah tiada. Namun itulah takdir. Ketika waktu telah habis, maka tak ada hal apapun yang bisa menahannya. Ajalnya telah tiba. Malaikat maut telah menjemput. Siapapun tak bisa menghalangi.

Meskipun berusaha ikhlas untuk merelakan, tetaplah ada sedih dan kehilangan yang menggelayut di hati. Satu sahabat baikku telah pergi. Meninggalkan dunia mendahului kami.

Ada yang bilang, orang baik mati lebih cepat. Boleh jadi itu benar. Mbak Nunung yang kukenal adalah teman yang sangat baik. Ucapannya lembut, wajahnya selalu ceria. Menyenangkan sekali diajak bicara. Mungkin bukan orang yang supel. Tapi orang-orang yang bicara dengannya akan merasa nyaman. Yang baru mengenalnya, merasa seperti mereka sudah berteman lama. Mbak Nunung yang kukenal memang teman yang baik. Tidak pernah dia membuatku marah atau kesal. Kalaupun pernah, aku tidak bisa mengingatnya. Mungkin Allah menghapus setiap kesalahannya dari ingatanku.

Mbak Nunung, betapa Allah sayang padamu. Engkau diberi kesempatan menjadi seorang ibu, setelah satu tahun menantikan buah hatimu. Diridhoi-Nya engkau melahirkan bayimu ke dunia dengan normal, dengan sangat lancar, diizinkannya engkau merasakan beratnya perjuangan bundamu dahulu.

Mbak Nunung, betapa Allah sayang padamu. Engkau dijemput oleh malaikat-Nya di malam terbaik, satu hari setelah perjuangan beratmu melahirkan si kecil ke dunia.

Mbak Nunung, betapa Allah sayang padamu. Engkau diantar ke pusara oleh orang-orang yang menyayangimu, menangisimu, sedih akan kehilangan sosok sebaik dirimu.

Mbak Nunung. Betapa aku bersyukur dipertemukan denganmu. Sosokmu telah menjadi kakak perempuan untukku. Banyak menasihatiku di saat aku butuh bimbingan. Mendengarkanku saat aku mengeluh. Mengertiku saat aku butuh pengertian. Semoga Allah melapangkan kuburmu, mengampuni dosa-dosamu, dan memberikan tempat terbaik untukmu di sisi-Nya. Aamiin.

Selamat jalan, sahabatku, kakakku. Perjuanganmu telah usai. Beristirahatlah dengan tenang. Hingga kita bertemu lagi suatu hari. Kuharap di tempat terindah. Bisa bercakap-cakap lagi dengan wajah bahagia, mengenang masa lalu. Menjalin persahabatan kembali, yang tidak akan pernah putus selamanya. Persaudaraan di surga.

Aamiin allahuma aamiin...