CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 27 Januari 2015

Elegi Sepasang Kasih

Dibenci karena salah paham.

Ditinggal karena kebodohan.

Lalu yang meninggalkannya tahu, bahwa dia pergi karena keegoisan hati.

Ingin kembali namun ragu. Takut jembatan yang akan dilalui untuk pulang telah benar-benar putus, tak kuasa disambung lagi.

Dia yang berdiri di seberang tahu. Merasakan ketakutan itu. Ingin dihapusnya, namun entah bagaimana caranya.

Dia yang berdiri di seberang ingin jembatannya tersambung kembali. Tapi tak punya tali. Sehingga hanya menunggu.

Keduanya hanya berdiri saling memandang. Dipisahkan jurang yang dalam. Tanpa jembatan.

Sendirian di satu sisi. Kesepian di sisi lain.

Tantangan

Kupikir kali ini bakal jadi awal yang bagus untuk menantang diri sendiri soal tulis-menulis. Seperti tahun lalu, aku memberanikan diri ikutan kompetisi menulis dari nulisbuku.com dalam #ProyekMenulis.

Ya, aku pernah ikut sebelumnya. Tepatnya tahun lalu, sekitar awal tahun juga. Lomba menulis novel. Sayangnya aku gagal menyelesaikan tulisanku. Banyak faktor sih penyebabnya. Tapi yang jelas, penyebab utama tentu saja masalah kedisiplinan. Kusadari aku belum bisa mendisiplinkan diriku sendiri dalam menjadwal tulisan. Dengan alasan kesibukan kerja, kelelahan, hilang mood, ditambah masalah-masalah lain (yang kebanyakan tidak penting), membuatku mudah sekali kehilangan semangat. Kalau motivasi, yang kupunya cukup besar, dan amat besar kurasa. Sayangnya itu tadi, aku belum bisa berlaku disiplin pada diri sendiri. Payah! Inilah hasilnya. Tulisanku tidak selesai, dan deadline satu bulan tentu tidak bisa dijadikan alasan tambahan.

Nah, tahun ini kompetisi serupa diadakan lagi. Aku excited sekali mengetahui itu. Dan langsung saja kuputuskan untuk ikut. Anggaplah ini kesempatan ke dua. Aku bodoh jika melewatkannya.

Kali ini aku juga tak mau meremehkannya meskipun kategorinya tidak seberat tahun lalu. Tulisan yang dilombakan adalah cerpen, bukan novel. Well, logikanya itu bisa jadi lebih mudah. Tapi tidak bisa dibilang mudah juga. Bagiku yang lebih banyak menulis cerita panjang (fanfic multichapters), belum tentu bisa menulis cerita pendek. Masalah alur. Jika biasanya memakai alur lambat di cerita bersambung, maka dalam cerpen tentu kita dituntut untuk bisa menyelesaikan kisah dalam alur cepat. Itu bukan hal yang gampang juga jadinya. Tapi inilah tantangan untukku.

Bukan untuk membuktikan pada siapapun. Tapi tantangan ini justru untuk membuktikan pada diriku sendiri. Tidak peduli bagaimana nanti hasilnya. Menang atau kalah, lolos atau tidak, bukan itu tujuanku.

Hanya satu: selesai atau tidak.

Semangat!

Senin, 26 Januari 2015

Teman Durhaka

Jika ada istilah teman durhaka, barangkali akulah orangnya.

Dia bukan seseorang yang telah lama kukenal. Aku bertemu dengannya bahkan belum genap dua tahun yang lalu. Namun seakan-akan dia telah mengenalku sejak aku lahir di dunia.

Dia berusaha pahami aku. Apa yang kusuka, apa yang tidak kusuka. Dia cari tahu apa hobiku, kebiasaanku, makanan favorit, warna favorit, bahkan sampai tipe lelaki idaman. Dia menggali semua tentang diriku. Entah bergurau atau serius, dia menyebut dirinya penggemar beratku.

Terkadang aku merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Serta kehadirannya yang seolah-olah selalu membuntutiku. Yang kupikirkan adalah dia mau tahu sekali urusanku. Membuatku jengkel. Tanpa aku mengerti niat baiknya untuk mengenalku lebih baik. Yang kutunjukkan justru sikap defensif. Penolakan yang boleh jadi melukai perasaannya.

Tiap aku punya masalah, dia hadir untuk meringankan bebanku. Tiap aku butuh sesuatu, dia datang untuk membantu. Tapi apa yang kulakukan sebagai balasannya? Menyikapinya dingin. Memandangnya sebelah mata, menganggap bahwa semua yang dia lakukan untukku itu adalah hal yang wajar, bisa dilakukan oleh siapapun untukku.

Nyatanya tidak. Tidak ada orang lain di sekelilingku yang berhati sebaik dia. Mereka teman-teman palsu. Hanya ada di dekatku ketika butuh, lalu segera menghilang jika tak lagi memerlukanku. Mereka datang dan pergi sesuka hati, seperti angkot-angkot yang silih berganti keluar-masuk terminal.

Tapi dia tidak. Dia tetap di sana, di mana aku selalu menemukannya ketika kubutuh dia. Dia tak pernah pergi. Selalu ada untukku, ketika aku butuh ataupun tidak.

Mungkin dialah seseorang yang pantas disebut teman.

Sebaliknya, aku sungguh-sungguh merasa berdosa. Aku telah menyia-nyiakannya selama ini. Lebih sering mengabaikannya daripada membalas perhatiannya. Lebih sering memberinya wajah masam daripada senyum untuk membalas sapa hangatnya. Dan boleh jadi aku lebih banyak lupa menyertakannya dalam doa daripada dia yang tak pernah absen menyebut namaku dalam munajatnya.

Ya, Allah .... sungguh aku tak pantas menjadi temannya. Berikanlah dia sahabat terbaik, seseorang yang jauh lebih baik daripada hamba ....