CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 30 Juni 2016

Bahagia Itu Sederhana

Bagi sebagian orang mungkin merasa bahagia ketika dia memiliki uang banyak; rumah besar, mobil mewah, jalan-jalan keliling dunia. Bagi sebagian lagi bahagia bisa datang dari hal-hal kecil, seperti mendapat hadiah ulang tahun, bisa membeli sepeda motor yang sudah lama diidam-idamkan, atau akhirnya naik gaji. Lebih banyak masih seputar materi, dan fokusnya masih kepada apa yang kita dapatkan.

Pernahkah kita berpikir bahwa bahagia bisa datang dari apa yang kita keluarkan dari diri kita?

Ya, memberi, berbagi. Apapun, tidak perlu dengan materi. Memberi bantuan pada seseorang yang mengalami kesulitan di jalan misalnya; membantu ketika ada orang yang bertanya alamat; membantu seseorang yang kendaraannya mogok; membantu orang lain menyebrangi jalan. Atau meringankan pekerjaan asisten rumah tangga dengan mengerjakan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri. Atau membantu tetangga memberikan pinjaman perkakas yang dibutuhkan. Bahkan menyingkirkan duri, ranting pohon, atau beling (apapun yang membahayakan pengguna jalan) demi keamanan mereka.

Kelihatannya sepele, remeh, kecil tak berarti. Begitu ringan, begitu mudah kita lakukan. Mungkin kelihatannya tidak seberapa dan bukan apa-apa. Tapi bagi orang yang dibantu akan sangat merasa tertolong. Boleh jadi dia hanya membalas dengan ucapan terima kasih dan sebuah senyuman. Tapi ketika kita melihat wajahnya, akan timbul perasaan hangat di hati. Rasa bahagia. Itulah sensasi yang kita dapatkan setiap kali menolong kesulitan orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang memberikan kemudahan (bantuan) kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat." (HR. Muslim)
Allah menjanjikan kita kelapangan urusan (bahkan tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat) jika kita membantu kesulitan orang lain. Tetapi jangan hanya karena janji tersebut lantas kita baru terpikirkan untuk menolong orang lain. Karena sejatinya kita mencari kepuasan batin, kepuasan jiwa, kepuasan sosial, atas bantuan-bantuan kecil yang mungkin tidak berarti di mata orang lain. Seperti senyuman yang menular, maka dengan membantu orang lain tidak hanya membuat orang tersebut bahagia, namun sesungguhnya kita juga sedang membuat diri kita bahagia. Ya, salah satu cara membahagiakan diri sendiri adalah dengan membahagiakan orang lain. Tidak perlu dengan materi, tapi lakukanlah apa yang bisa kita lakukan. Tentu semakin besar yang bisa kita beri, diri sendiri pun akan merasa semakin terpuaskan.

Bahagia itu sederhana, bukan?

Rabu, 29 Juni 2016

Semangat Baru

Helo :)

Sudah lama banget ya rasanya nggak nulis di blog ini.
Rasanya sebel sendiri deh. Dari dulu punya blog tapi jarang banget diisi, jarang posting. Kebanyakan karena sibuk, nggak punya waktu luang, lebih banyak lagi karena malas. Yes, sekalinya ada waktu luang, lagi senggang, justru tergoda untuk melakukan hal-hal lain. Melahap novel, nonton film, nonton drama Asia, tidur *ups.

Belakangan ini fokusku tersita untuk beradaptasi di kantor baru, menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru, dan tentu saja dengan lingkungan baru. Aku bukan orang yang mudah terbiasa, sehingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk menikmati semua itu. Satu dan lain hal terkadang menjadi batu sandungan--kurasa tidak hanya sekadar batu sandungan, tapi tembok besar nan kokoh berdiri di hadapanku, menghalangi jalanku. Well, aku perlu bekerja keras untuk terbiasa dan bertahan. Sebelumnya aku memang punya masalah soal pekerjaan. Lebih ke urusan prinsip. Beberapa kali aku harus berhenti dari satu perusahaan karena etos kerjanya tidak sesuai dengan prinsipku. Sejak lulus kuliah, aku sudah bekerja di empat perusahaan berbeda--lima dengan tempat kerjaku sekarang. Dari ke empatnya, hampir semua di mana aku memilih berhenti karena prinsip yang tidak sesuai. Di tempatku yang sekarang kuharap aku akan bertahan lama, paling tidak hingga kebutuhan-kebutuhan jangka pendekku tercapai. Aku bukan orang yang loyal pada perusahaan, jujur saja. Orientasiku bukan karir. Bagiku pribadi, karier seorang wanita sesungguhnya adalah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Ketika dia berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama suaminya, berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang yang bermanfaat, maka di situlah prestasinya. Itu cita-cita terbesarku. Tapi ... sekarang mungkin belum bisa, karena aku perlu mengorbankan cita-cita itu demi menghidupi ayah dan ibuku.

Berpikir tentang tulis-menulis, beberapa waktu lalu aku akhirnya menghapus hampir semua cerita fiksi yang dipublikasi sebuah situs penggemar. Cerita-cerita yang sudah kuterbitkan selama rentang 8 tahun ini sejak aku bergabung di situs itu. Rasanya memang disayangkan. Sebelum melakukan itu pun aku melalui banyak pertimbangan, salah satunya adalah pertanyaan pada diriku sendiri, apakah aku tidak akan menyesal setelah menghapusnya. Namun kemudian akhirnya tekadku bulat untuk menghapus cerita-cerita itu. Yang kuterima kemudian adalah protes dari para pembaca. Banyak yang menyayangkan, banyak yang menghujat, dan beberapa dari mereka mencoba memahami apa yang kulakukan meskipun (kemungkinan besar) mereka tidak tahu apa alasanku. Aku sudah menduga akan menerima komentar-komentar itu. "Kenapa dihapus?" "Sayang sekali." "Kau membuatku kecewa." Dan sebagainya. Terkadang komentar-komentar itu membuatku jengah dan sedih (terkadang kesal). Tapi aku sudah putusakan untuk tidak akan mengembalikannya. Aku sudah memutuskan dan aku yakin keputusan itu benar. Teman-teman dekatku mendukungku dengan bijak, aku beruntung memiliki mereka.

Jadi ... apa sebenarnya alasanku menghapus cerita-cerita fiksi itu?

Aku berpikir dan berpikir ulang apa sebenarnya tujuanku menulis. Hingga pada akhirnya aku menemukan sesuatu yang pernah kujadikan prinsip dalam menulis. Aku ingin menginsipirasi orang lain dengan tulisanku. Ya, aku pernah bercita-cita seperti itu. Penulis favoritku adalah Tere Liye, dan itulah yang kurasakan ketika membaca tulisan-tulisannya. Inspirasi. Betapa kagumnya aku padanya, sehingga beliau tidak hanya sekadar penulis favorit untukku tapi juga role modelku dalam tulisan. Aku ingin menulis seperti beliau, aku ingin menginspirasi seperti beliau. Dan melihat lagi tulisan-tulisan yang pernah kubuat, aku jadi malu sendiri. Manfaat apa yang bisa kudapat dari tulisan-tulisan ini? pikirku. Paling-paling hanya sebagai hiburan, tidak ubahnya cerita-cerita sinetron murahan di televisi lokal, tidak ada bedanya dengan obrolan seru perempuan-perempuan yang suka bergosip.
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. -Rasulullah saw- (HR. Thabrani)
 Di mana letak gunanya tulisanku jika itu tidak bermanfaat bagi pembacanya? Dan satu lagi yang kutakutkan dari tulisan-tulisanku adalah ketika ada hal buruk di dalamnya (meskipun aku tidak bermaksud menulisnya) lalu ditiru oleh pembacanya. Maka ketika dia berdosa, aku pun mendapatkan dosa yang sama, karena sejatinya akulah yang mencontohkan perbuatan buruknya. Astaghfirullah ... naudzubillahimindzalik. Sudah cukup apa yang sudah kutulis selama ini, hal-hal yang tidak bermanfaat. Aku tidak akan sanggup menanggung dosa karena perbuatan orang lain yang dicontohnya dari tulisanku. Maka aku berhenti.

Tapi sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia dengan sebuah kelebihan. Mungkin aku dianugrahkan kelebihan dalam menulis, merangkai kata-kata (menurut teman-teman pembaca aku berbakat). Semua kukembalikan lagi pada Sang Pencipta. Jika memang ini kelebihanku, maka insya Allah aku akan memanfaatkannya untuk kebaikan.

Semangat! :D