CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 18 Oktober 2015

Kecewa

Saat pertama kali tahu bahwa sepupunya yang tinggal jauh di desa seberang akan tinggal di ibukota untuk kuliah, hati Leny menyambut dengan suka cita. Setelah selama ini hidup tanpa saudara, menjadi anak semata wayang yang kesepian. Betapa tidak terbayangkan dia akan segera punya saudara. Perempuan pula. Dia akan punya teman bercerita sebelum tidur. Akan punya teman jalan-jalan. Akan punya teman bertukar pakaian. Pasti menyenangkan sekali.

Suka cita itu pun dimulai sejak Afi, sepupunya, datang ke rumah. Disambut Leny dengan senyuman ramah nan bersahabat. Saling bertukar cerita--meskipun terkendala oleh perbedaan bahasa--tapi itu tetap menyenangkan. Hampir sepuluh tahun Leny tidak pernah bertemu dengan sepupunya itu lagi. Terakhir Leny meninggalkannya saat dulu berkunjung ke desa, Afi masih bocah kecil ingusan yang belum sekolah. Sekarang dia telah berubah menjadi gadis muda yang riang.

Angan-angan menyenangkan yang sempat dibayangkan oleh Leny pun perlahan jadi kenyataan. Jika dulu Leny tidur larut malam karena menonton film di televisi, sekarang tidur larutnya karena seru bercerita dengan Afi. Jika dulu Leny berjalan-jalan mengitari rak-rak buku di toko sendirian, menonton film di bioskop sendirian, menjelajah gantungan-gantungan baju di departement store sendirian. Kini tidak lagi. Ada Afi yang menemaninya ke manapun dia melangkah.

Punya saudara ternyata menyenangkan. Leny tidak lagi kesepian.

Namun cerita bahagia itu tidak berlangsung lama. Orang bilang, buruknya seseorang akan terlihat semakin kita mengenalnya dengan baik. Dan itu benar. Satu per satu Leny menemukan sisi-sisi buruk sepupunya. Sisi-sisi menyebalkan dari Afi. Satu-dua membuatnya kesal. Satu-dua membuatnya jengkel. Hingga beberapa kali membuatnya geram. Dan terakhir, Leny benar-benar habis kesabaran. Sudah cukup. Sepupunya sudah sangat keterlaluan.

Suatu hari, ketika puncak kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun kepala, Leny memilih diam. Memencak-mencak hanya membuang energi. Maka diamnya Leny adalah marahnya. Sepupunya didiamkan. Diabaikan. Tidak dianggap.

Sang ibu yang mengetahui sikap diam Leny pada sepupunya itu segera menegurnya. Meminta pada Leny untuk tidak mendiamkan sepupunya, biar bagaimanapun Afi tetaplah saudaranya. Namun hati Leny sudah terlanjur mengeras oleh amarah yang dia pendam sejak lama. Ibunya menangis, menitikkan air mata demi menyaksikan kekerasan hati sang putri. Sayangnya itu pun tidak meluluhkannya. Leny bahkan meledak, matanya merah, tajam menatap sang ibu.

Hati Leny menjerit. Apakah ibunya tidak tahu siapa yang membuatnya bersikap demikian dingin dan keras seperti gunung es?

Salah siapa jika Leny jadi dingin? Salah siapa jika Leny jadi keras? Salah siapa jika Leny tidak peduli lagi?

Leny hanya kecewa. Tumpukan rasa kecewa yang mengendap di dalam hati telah mengeraskannya. Kecewa akan Afi. Kecewa akan saudara perempuan yang sudah lama dia idamkan kehadirannya.

Leny telah berusaha menjadi kakak yang baik untuknya. Memberinya banyak nasihat dan masukan. Itu karena rasa sayang Leny padanya. Tapi apa yang dilakukan Afi sebagai balasannya? Seakan-akan tak satu pun kata masuk ke dalam kepalanya. Kata-kata itu, kalimat-kalimat itu lewat begitu saja. Membuat Leny merasa dirinya seperti radio rusak, bersuara tapi tidak mau didengarkan. Satu-dua kali Leny mencoba bersabar. Namanya juga remaja, ABG labil, belum dewasa, itu terus yang diingatkan Leny pada dirinya sendiri akan kelakuan sepupunya. Namun satu-dua kali lagi Afi mengulangi kelakuannya, tidak mendengarkan. Lelah. Muak. Leny telah sampai pada batas kesabarannya. Sudah cukup.

Jika kata-katanya tak mau didengar, bukankah lebih baik diam? Toh Afi tidak suka mendengar Leny mengoceh, jadi buat apa bicara lagi dengannya.

Tapi yang dilihat ibunya tidak seperti itu. Di mata ibunya Leny-lah penjahatnya. Leny-lah yang telah berbuat kejam pada sepupunya sendiri. Leny yang salah. Leny yang egois. Leny yang tidak dewasa.

Sempurna sudah.

Leny yang tidak didengar ucapannya. Leny pula yang dituduh sebagai penjahatnya.

Hidup tidak pernah seindah angan-angan.

Minggu, 11 Oktober 2015

Sampai Kita Berjumpa Lagi

Seminggu belakangan entah berapa kali aku melihat seseorang yang mirip dengan seorang temanku, sahabat yang sudah seperti kakakku sendiri. Mbak Nunung. Entah berapa kali bertemu orang yang mirip dengannya. Maksudku bukan mirip wajah, tetapi melihatnya membuatku langsung teringat pada sosok Mbak Nunung. Di dalam kereta, ya aku melihatnya dalam perjalanan pulang, juga saat berangkat ke kantor.

Memang sudah lama juga aku tidak bertukar kabar dengannya. Terakhir yang kuingat, pertemuan kami saat pesta pernikahan adik iparnya, Anita, yang tidak lain teman sekantor kami dulu di salah satu bank swasta. Aku ingat dia tengah hamil muda saat itu. Setelah teringat padanya gara-gara bertemu orang itu di kereta, aku jadi berniat mengontaknya.

Kucoba hubungi dia via WhastApp chat. Dari tukar-kabar, berlanjutlah obrolan kami ke hal-hal lain. Menyenangkan sekali. Selalu menyenangkan bicara dengannya. Rinduku pun terpadamkan.

Kira-kira seminggu kemudian. Jumat pagi, seperti biasa aku mengecek ponsel setelah semalaman kumatikan data selulernya. Sudah menjadi ritual pagi sebelum sarapan. Pesan WhatsApp masuk di grup alumni bank swasta kantor lamaku. Saat kubaca, seketika aku terdiam. Tak percaya. Rasanya seperti mimpi. Apakah ini semacam lelucon?

Pesan itu dari supervisorku dulu. Juga kenal cukup dekat dengan Mba Nunung, mengabarkan bahwa Mba Nunung meninggal tadi malam....

Aku sungguh-sungguh mengira mereka bergurau. Jika benar, itu bukan lelucon yang bagus. Tapi kemudian aku menyadari bahwa itu bukan gurauan, setelah membaca pesan dari Anita, memintakan maaf jika ada kesalahan-kesalahan Mbak Nunung selama hidupnya.

Innalillahi wa innailaihi roojiuun. Masya Allah, bukannya aku bermaksud menentang ketetapan Allah. Tapi rasanya aku masih sulit percaya. Baru seminggu yang lalu aku mengobrol dengannya. Tak ada tanda apapun, bahkan dari obrolannya aku bisa merasakan bahwa Mba Nunung tengah bahagia menikmati masa-masa kehamilannya. Tak ada keluhan apapun. Siapa yang menyangka esok hari dia telah tiada. Namun itulah takdir. Ketika waktu telah habis, maka tak ada hal apapun yang bisa menahannya. Ajalnya telah tiba. Malaikat maut telah menjemput. Siapapun tak bisa menghalangi.

Meskipun berusaha ikhlas untuk merelakan, tetaplah ada sedih dan kehilangan yang menggelayut di hati. Satu sahabat baikku telah pergi. Meninggalkan dunia mendahului kami.

Ada yang bilang, orang baik mati lebih cepat. Boleh jadi itu benar. Mbak Nunung yang kukenal adalah teman yang sangat baik. Ucapannya lembut, wajahnya selalu ceria. Menyenangkan sekali diajak bicara. Mungkin bukan orang yang supel. Tapi orang-orang yang bicara dengannya akan merasa nyaman. Yang baru mengenalnya, merasa seperti mereka sudah berteman lama. Mbak Nunung yang kukenal memang teman yang baik. Tidak pernah dia membuatku marah atau kesal. Kalaupun pernah, aku tidak bisa mengingatnya. Mungkin Allah menghapus setiap kesalahannya dari ingatanku.

Mbak Nunung, betapa Allah sayang padamu. Engkau diberi kesempatan menjadi seorang ibu, setelah satu tahun menantikan buah hatimu. Diridhoi-Nya engkau melahirkan bayimu ke dunia dengan normal, dengan sangat lancar, diizinkannya engkau merasakan beratnya perjuangan bundamu dahulu.

Mbak Nunung, betapa Allah sayang padamu. Engkau dijemput oleh malaikat-Nya di malam terbaik, satu hari setelah perjuangan beratmu melahirkan si kecil ke dunia.

Mbak Nunung, betapa Allah sayang padamu. Engkau diantar ke pusara oleh orang-orang yang menyayangimu, menangisimu, sedih akan kehilangan sosok sebaik dirimu.

Mbak Nunung. Betapa aku bersyukur dipertemukan denganmu. Sosokmu telah menjadi kakak perempuan untukku. Banyak menasihatiku di saat aku butuh bimbingan. Mendengarkanku saat aku mengeluh. Mengertiku saat aku butuh pengertian. Semoga Allah melapangkan kuburmu, mengampuni dosa-dosamu, dan memberikan tempat terbaik untukmu di sisi-Nya. Aamiin.

Selamat jalan, sahabatku, kakakku. Perjuanganmu telah usai. Beristirahatlah dengan tenang. Hingga kita bertemu lagi suatu hari. Kuharap di tempat terindah. Bisa bercakap-cakap lagi dengan wajah bahagia, mengenang masa lalu. Menjalin persahabatan kembali, yang tidak akan pernah putus selamanya. Persaudaraan di surga.

Aamiin allahuma aamiin...

Rabu, 03 Juni 2015

Semu

Siapa yang bakal senang melihat setumpuk pekerjaan menunggu di meja kerja? Sudah begitu, masih banyak email yang belum dibaca. Entah berapa draft yang menanti diselesaikan. Ditambah lagi tumpukan dokumen baru yang akan segera diantarkan dari ruangan si bos ke mejaku.

Lihatlah si bos keluar dari ruangannya, berjalan dengan langkah besar-besar ke tempatku. Dia berhenti tepat di muka mejaku. Wajah masamnya entah bagaimana tiba-tiba berubah aneh--bukan, maksudku bibirnya melengkungkan seulas senyum. Yah, si bos memang jarang sekali tersenyum. Tidak pernah malah. Makanya bakal jadi aneh bila tiba-tiba dia tersenyum. Padaku? Apa aku sedang bermimpi?

Di atas mejaku, laki-laki paruh baya menjelang tua itu meletakkan sesuatu. Mataku seketika melotot begitu menyadari benda apa itu. Selembar tiket pesawat, tujuan Belitung. Namun secepat mungkin kutepis jauh-jauh bayangan pantai berpasir putih yang tiba-tiba menyelimuti benakku gara-gara tiket itu. Lupakan. Itu bukan untukmu!

"Lin, kamu ambil cuti seminggu penuh mulai besok. Bersantailah," kata si bos.

Tunggu dulu. Benarkah dia bicara padaku? Kepalaku menengok ke kanan dan kiri, tidak ada siapapun di sini selain aku, karena rekanku di satu lantai ini sudah pulang semua sejak setengah jam yang lalu. Jadi, si bos benar bicara padaku? Tadi sih dia memang menyebut nama kecilku. Tapi telingaku tidak salah dengar, kan?

"Kenapa diam aja, Lin? Kamu nggak suka ke pantai?" Si bos menjentik-jentikkan jarinya di depan wajahku, membuyarkan lamunanku.

Cepat-cepat aku menggeleng. Siapa bilang aku tidak suka pantai. Aku suka sekali pantai! Membayangkannya saja membuat hatiku damai. Pasir putih yang hangat, lembut ketika membenam kaki telanjangku. Lidah ombak menjilat-jilat sepanjang aku menyisiri pantai. Syahdunya desir ombak. Dan harumnya air laut. Lihatlah birunya hamparan samudra ke tengah sana, serasi dengan jingganya langit senja. Di ufuk barat, sang mentari hendak pulang ke peraduannya. Sungguh luar biasa....

"Lin, kamu dengar, nggak?"

Si bos menjentik-jentikkan lagi jarinya di depan wajahku, membuyarkan lamunan indahku.

Kepalanya menggeleng-geleng menatapku. Senyumnya tadi hilang, tinggal wajah masamnya yang tersisa. Matanya tajam menusuk, seakan-akan aku baru saja membuat dosa besar. Eh, apa salahku?

Bukankah mulai besok aku akan dapat cuti seminggu dan liburan gratis ke Belitung? Tapi ke mana tiket pesawatnya? Yang ada di mejaku hanya setumpuk laporan. Ditambah tampang galak yang seolah-olah siap menerkamku kapan saja.

"Selesaikan itu hari ini juga. Saya mau besok semuanya sudah ada di meja saya. Kamu dengar, Lin?"

Aku mengangguk patah-patah. Sepatah semangatku barusan. Sepertinya aku terlalu lelah untuk mengkhayalkan semua kenikmatan tadi.

Yang benar saja. Bukannya dapat liburan gratis, aku malah ketiban sial dapat tambahan pekerjaan. Apa yang kuharapkan? Liburan gratis ke pantai? Pasir hangat dan jilatan ombak? Hah! Semu!

#NulisRandom2015 #day3

Selasa, 02 Juni 2015

Mawar (Tak) Berduri [Bagian 1]

Namaku Dulcina, yang dalam bahasa latin berarti bunga mawar. Entah dari mana orangtuaku mendapatkan nama itu. Orang bilang nama adalah doa. Boleh jadi ayah dan ibuku berharap aku akan tumbuh besar seharum dan secantik bunga mawar.

Mungkin berkat doa dalam namaku juga aku tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Banyak lelaki terpesona oleh paras ayuku. Bahkan umurku baru 13 tahun ketika seorang pria dari kota seberang datang ke rumah untuk meminangku. Tentu saja orangtuaku menolak baik-baik karena aku masih terlalu muda untuk berumah tangga.

Aku cantik rupawan seperti impian semua gadis di dunia. Namun hidupku tidak semerta-merta bahagia karena parasku yang sempurna. Keluargaku terpaksa menjalani kehidupan yang berubah seratus delapan puluh derajat setelah usaha jual kain keluarga harus gulung tikar karena ayahku kena tipu. Kami bangkrut, kami miskin mendadak. Saat itu usiaku 14 tahun. Aku dan kakakku berhenti sekolah karena tidak ada biaya. Ayahku bekerja serabutan, sementara ibuku hanya berdiam di rumah karena malu dan meratapi nasib sial kami. Ayah dan ibuku pun mulai sering bertengkar. Ibu tak bisa cari uang karena malu, sementara ayah mulai hobi bermain judi. Ayah mulai berutang pada lintah darat, untuk berjudi. Ibu mulai sakit-sakitan karena tidak kuat menanggung beban kemiskinan. Kakakku berusaha menjual kue, namun hasilnya lebih sering dirampas Ayah untuk berjudi. Keluarga kami berantakan.

Suatu hari, orang-orang suruhan lintah darat datang ke rumah kami. Mereka menagih utang pada Ayah. Tapi tentu saja Ayah tak punya sepeserpun untuk menggantinya. Tiba-tiba salah satu dari mereka menarik lengan Aida, kakakku. Katanya Aida akan menjadi ganti utang-utang Ayah pada mereka. Ibu mengamuk, berusaha menghentikan mereka membawa Kak Aida. Sementara Ayah diam saja seperti orang tak berdaya. Hari itu benar-benar mengerikan. Aida dibawa pergi oleh kaki-tangan lintah darat demi membayar utang-utang ayah. Dan ayah kami tak sanggup berbuat apa-apa.

Itu baru cerita awalnya, karena sesungguhnya nasibku jauh lebih menyedihkan daripada Kak Aida. Jika kakakku dibawa karena terpaksa, maka aku sebaliknya. Ayah tanpa berat hati menjualku ke seorang lintah darat yang lain demi mendapatkan pinjaman besar untuk berjudi. Ayahku sudah benar-benar gila.

*bersambung

*terinspirasi dari lagu Bunga Di Tepi Jalan by Koes Plus, dipopulerkan kembali oleh Sheila on 7*

#NulisRandom2015 #day2

Senin, 01 Juni 2015

Berani Tinggalkan Zona Nyaman

Seorang kawanku pernah bilang, bila ingin sukses maka harus berani keluar dari zona nyaman.

Strugle, strugle, strugle.

Tak boleh mengenal kata menyerah untuk berjuang. Karena hidup penuh perjuangan.

Ketika kita masuk ke satu lingkungan kerja. Semua dimulai dari nol. Penguasaan materi pekerjaan. Adaptasi dengan rekan-rekan sejawat. Termasuk membiasakan diri dengan transportasi. Awalnya terasa asing, terasa berat. Namun perlahan ketika kita mulai bisa mengikuti arusnya, semua terasa begitu mudah. Lancar semulus jalan tol. Selama ada kesabaran dan kerja keras, maka kita bisa melampauinya.

Namanya manusia, sudah sifat lahiriahnya merasa tidak puas. Sudah mendapatkan sesuatu, selalu akan ada hal lain yang ingin dicapainya.

Untuk mereka yang ingin sukses, rasa tidak puasnya selalu lebih besar. Mereka akan meninggalkan zona nyaman mereka. Demi sesuatu yang belum didapatkannya, sesuatu yang jauh lebih tinggi dari pijakannya sekarang. Mereka rela meninggalkan semua kenyamanan itu. Mereka rela memulai segalanya dari nol lagi.

Ini adalah sebuah pertaruhan. Jikapun dia tidak berhasil mencapainya di kemudian hari, akan ada banyak hal yang bisa membuatnya belajar. Untuk melangkah lebih baik, untuk terhindar dari lubang yang sama.

#NulisRandom2015

Minggu, 01 Maret 2015

Krisis Jati Diri?

Belakangan ini entah kenapa aku jadi labil *biasanya, bukan?*

Serius. Sebenarnya labil sama tulisan. Aku udah mulai meninggalkan fanfiction untuk merambah ke penulisan lain. Jika ada rejeki sih, aku mau nulis novel. Doakan ya ....

Aku ingin menulis kisah-kisah yang menginspirasi, bukan jadi hiburan semata. Aku ingin menulis sesuatu yang bermanfaat. As my writing role model, Tere Liye. I just wanna be like him. Melihat efek yang kudapat setelah membaca buku-bukunya, yeah I just want to. Aku ingin pembacaku nanti juga merasakan efek yang sama seperti novel-novel Bang TL.

Teman-teman di FFN bilang tulisanku bagus. Jadi kusimpulkan, aku punya bakat di menulis *pede amat*
Kalau mau sukses harus pede, kan?

Masalahnya kayaknya sekarang aku lagi mengalami krisis jati diri. Entahlah apa sebabnya. Apa mungkin gara-gara kebanyakan baca cerita di Wattpad yang dominan sama cerita romansa. Trus terkadang terselip rasa iri melihat betapa terkenalnya mereka karena tulisan-tulisan mereka (di luar bagus atau tidaknya kualitas *dalam ukuranku sih*).
Seakan-akan aku teracuni. Jadi kepingin ikut nulis cerita romansa juga, dengan ide-ide yang berkelebat di kepala. Tapi jika mengingat lagi niat awalku untuk menulis, aku jadi dilema sendiri. Aku seperti bingung identitas jadinya.

Nah kalau udah begini, biasanya aku bakal terserang demam WB. Gejalanya udah terasa. Hilang mood. Ide berantakan. Sempurnalah.

Mungkin aku butuh rehat beberapa jenak. Sebenarnya aku butuh liburan. Wacana trip ke luar kota kedengarannya menggiurkan. Ke Jogja! Aku ngidam banget balik ke Jogja. Tapi namanya belum rejeki, mungkin sampai beberapa bulan ke depan aku bakal stuck di rumah aja.

Aku butuh novel Tere Liye baru! :"(

Minggu, 01 Februari 2015

The Imitation Game

Kayaknya baru kali ini aku nonton film bioskop yang diangkat dari kisah nyata. Yah, berbekal rekomendasi dari NulisBuku.com dan teman kantor. Katanya film itu bagus. Jadi penasaran juga. Begitu aku coba intip trailler-nya, sebenarnya sih aku jadi kurang tertarik. Tapi berhubung seorang teman 'memaksa' supaya aku menemaninya nonton, okelah aku pilih film ini. Tak ada pilihan yang lebih menarik minggu ini.

The Imitation Game, Permainan Tiruan, diangkat dari kisah nyata seorang ahli matematika asal Inggris bernama Alan Turing yang menemukan mesin pemecah sandi Enigma (mesin penyadap pesan perang Jerman). Cerita yang dilatarbelakangi perang dunia.

Alan Turing (Benedict Cumberbatch) bergabung dengan tim rahasia yang direkrut khusus untuk memecahkan kode perang Jerman. Dengan menerjemahkan sandi Enigma, yang katanya dulu adalah sandi paling sulit dan belum terpecahkan. Butuh sekitar 20 juta tahun untuk bisa menerjemahkan satu pesan saja. Nah, mereka dituntut untuk memecahkan sandi-sandi itu dalam waktu 20 menit. Menit-menit berharga yang bisa menyelamatkan jutaan manusia dari kematian. Karena jika sandi bisa dipecahkan, strategi perang Jerman diketahui, maka pasukan militer Inggris dan sekutu bisa mengungsikan orang-orang di wilayah sasaran tempur musuh. Sehingga sesungguhnya mereka bukan berperang melawan Jerman, melainkan melawan waktu. Seberapa cepat mereka bisa memecahkan kode, maka semakin banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Fokus cerita dalam film ini bukan hanya pada usaha Alan Turing dan tim dalam memecahkan sandi Enigma. Tapi juga pada kisah pribadi Alan Turing itu sendiri. Memperlihatkan potongan-potongan kisah masa lalunya saat masih sekolah (setingkat SMA). Dia anak yang jenius, yang karena itu membuatnya jadi sasaran tindak kekerasan teman-temannya. Mereka memperlakukannya demikian hanya karena dia berbeda, begitu kata satu-satunya teman yang Alan miliki. Namanya Christopher. Hanya Christopher yang mengerti dirinya, bisa membaca bahwa Alan akan melakukan sesuatu yang besar untuk dunia di kemudian hari. Sesuatu yang tidak terduga. Kedekatan mereka ini membuat Alan diam-diam mencintai Christopher. Mencintai dalam artian seperti laki-laki pada perempuan. Sehingga Alan tumbuh dewasa menjadi seorang homoseksual.

Christopher meninggal dunia sebelum Alan sempat menyatakan perasaannya. Dia sangat terpukul mendengar cerita itu. Karena tidak ada lagi seseorang yang bisa memahaminya sebaik Christopher. Inilah yang menjadi alasannya menamakan mesin pemecah kode Enigma yang dia ciptakan dengan nama yang sama. Christopher. Mesin yang amat berarti dan yang dia bangga-banggakan, sama seperti Christopher sahabatnya. Mesin yang disebut-sebut sebagai cikal bakal mesin yang sekarang kita kenal dengan nama komputer.

Awal menonton aku agak dibuat bingung dengan alur cerita yang lompat-lompat. Ada tiga rentang waktu dalam cerita ini. Pertama, saat Alan terjerat penyelidikan terhadap dirinya atas tuduhan tindakan tidak senonoh setelah rumahnya kerampokan, kerampokan yang ganjil karena tak ada satu pun barang yang hilang. Sebab itu seorang detektif yang menangani kasusnya mencurigai sesuatu, berasumsi bahwa Alan Turing memiliki sesuatu yang disembunyikannya dari dunia. Ke dua, saat Alan masih bekerja bersama tim rahasianya untuk memecahkan sandi Enigma. Diceritakan bagaimana awal dia bergabung, usahanya untuk dipercaya oleh seorang perwira perang yang mengepalai proyek pemecahan kode itu, dan bagaimana hubungannya dengan orang-orang dalam tim. Juga tentang Joan Clarke (Keira Knightley), satu-satunya wanita yang menjadi anggota tim rahasia, wanita yang menjadi tunangannya. Ke tiga, saat Alan masih di akademi (seperti yang sudah kutulis di atas).

Mungkin karena diangkat dari kisah nyata, film ini menurutku agak membosankan. Seakan-akan jalan ceritanya sudah terbaca. Namun bagian baiknya, emosi dari tiap adegan dalam film ini terasa sangat kuat. Apalagi karakter si tokoh utama, Alan Turing, yang mendominasi keseluruhan cerita. Bagian yang paling kusukai yaitu ketika Alan berhasil membuat mesinnya memecahkan sandi Enigma. Ketika kebahagiaan mereka meluap-luap, kerja keras mereka selama hampir dua tahun tidak sia-sia, saling bersorak, memeluk, bahkan menangis bahagia. Mereka berhasil memecahkan satu pesan perang terbaru. Namun seakan-akan suka cita itu luluh lantak begitu mereka menyadari bahwa sekalipun mereka telah mengetahui rencana penyerangan Jerman, mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan orang-orang dari wilayah sasaran, karena pasukan Jerman akan segera tahu bahwa mereka telah memecahkan kode pesan perang mereka, kemudian mereka akan mengubah pola kodenya, dan pekerjaan Alan Turing dkk menjadi sia-sia. Sungguh sebuah ironi.

Ada satu kutipan yang aku suka dari film ini. Ucapan Christopher pada Alan.

"Seseorang yang tidak terduga bisa mengerjakan sesuatu yang tidak terduga."

Selasa, 27 Januari 2015

Elegi Sepasang Kasih

Dibenci karena salah paham.

Ditinggal karena kebodohan.

Lalu yang meninggalkannya tahu, bahwa dia pergi karena keegoisan hati.

Ingin kembali namun ragu. Takut jembatan yang akan dilalui untuk pulang telah benar-benar putus, tak kuasa disambung lagi.

Dia yang berdiri di seberang tahu. Merasakan ketakutan itu. Ingin dihapusnya, namun entah bagaimana caranya.

Dia yang berdiri di seberang ingin jembatannya tersambung kembali. Tapi tak punya tali. Sehingga hanya menunggu.

Keduanya hanya berdiri saling memandang. Dipisahkan jurang yang dalam. Tanpa jembatan.

Sendirian di satu sisi. Kesepian di sisi lain.

Tantangan

Kupikir kali ini bakal jadi awal yang bagus untuk menantang diri sendiri soal tulis-menulis. Seperti tahun lalu, aku memberanikan diri ikutan kompetisi menulis dari nulisbuku.com dalam #ProyekMenulis.

Ya, aku pernah ikut sebelumnya. Tepatnya tahun lalu, sekitar awal tahun juga. Lomba menulis novel. Sayangnya aku gagal menyelesaikan tulisanku. Banyak faktor sih penyebabnya. Tapi yang jelas, penyebab utama tentu saja masalah kedisiplinan. Kusadari aku belum bisa mendisiplinkan diriku sendiri dalam menjadwal tulisan. Dengan alasan kesibukan kerja, kelelahan, hilang mood, ditambah masalah-masalah lain (yang kebanyakan tidak penting), membuatku mudah sekali kehilangan semangat. Kalau motivasi, yang kupunya cukup besar, dan amat besar kurasa. Sayangnya itu tadi, aku belum bisa berlaku disiplin pada diri sendiri. Payah! Inilah hasilnya. Tulisanku tidak selesai, dan deadline satu bulan tentu tidak bisa dijadikan alasan tambahan.

Nah, tahun ini kompetisi serupa diadakan lagi. Aku excited sekali mengetahui itu. Dan langsung saja kuputuskan untuk ikut. Anggaplah ini kesempatan ke dua. Aku bodoh jika melewatkannya.

Kali ini aku juga tak mau meremehkannya meskipun kategorinya tidak seberat tahun lalu. Tulisan yang dilombakan adalah cerpen, bukan novel. Well, logikanya itu bisa jadi lebih mudah. Tapi tidak bisa dibilang mudah juga. Bagiku yang lebih banyak menulis cerita panjang (fanfic multichapters), belum tentu bisa menulis cerita pendek. Masalah alur. Jika biasanya memakai alur lambat di cerita bersambung, maka dalam cerpen tentu kita dituntut untuk bisa menyelesaikan kisah dalam alur cepat. Itu bukan hal yang gampang juga jadinya. Tapi inilah tantangan untukku.

Bukan untuk membuktikan pada siapapun. Tapi tantangan ini justru untuk membuktikan pada diriku sendiri. Tidak peduli bagaimana nanti hasilnya. Menang atau kalah, lolos atau tidak, bukan itu tujuanku.

Hanya satu: selesai atau tidak.

Semangat!

Senin, 26 Januari 2015

Teman Durhaka

Jika ada istilah teman durhaka, barangkali akulah orangnya.

Dia bukan seseorang yang telah lama kukenal. Aku bertemu dengannya bahkan belum genap dua tahun yang lalu. Namun seakan-akan dia telah mengenalku sejak aku lahir di dunia.

Dia berusaha pahami aku. Apa yang kusuka, apa yang tidak kusuka. Dia cari tahu apa hobiku, kebiasaanku, makanan favorit, warna favorit, bahkan sampai tipe lelaki idaman. Dia menggali semua tentang diriku. Entah bergurau atau serius, dia menyebut dirinya penggemar beratku.

Terkadang aku merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Serta kehadirannya yang seolah-olah selalu membuntutiku. Yang kupikirkan adalah dia mau tahu sekali urusanku. Membuatku jengkel. Tanpa aku mengerti niat baiknya untuk mengenalku lebih baik. Yang kutunjukkan justru sikap defensif. Penolakan yang boleh jadi melukai perasaannya.

Tiap aku punya masalah, dia hadir untuk meringankan bebanku. Tiap aku butuh sesuatu, dia datang untuk membantu. Tapi apa yang kulakukan sebagai balasannya? Menyikapinya dingin. Memandangnya sebelah mata, menganggap bahwa semua yang dia lakukan untukku itu adalah hal yang wajar, bisa dilakukan oleh siapapun untukku.

Nyatanya tidak. Tidak ada orang lain di sekelilingku yang berhati sebaik dia. Mereka teman-teman palsu. Hanya ada di dekatku ketika butuh, lalu segera menghilang jika tak lagi memerlukanku. Mereka datang dan pergi sesuka hati, seperti angkot-angkot yang silih berganti keluar-masuk terminal.

Tapi dia tidak. Dia tetap di sana, di mana aku selalu menemukannya ketika kubutuh dia. Dia tak pernah pergi. Selalu ada untukku, ketika aku butuh ataupun tidak.

Mungkin dialah seseorang yang pantas disebut teman.

Sebaliknya, aku sungguh-sungguh merasa berdosa. Aku telah menyia-nyiakannya selama ini. Lebih sering mengabaikannya daripada membalas perhatiannya. Lebih sering memberinya wajah masam daripada senyum untuk membalas sapa hangatnya. Dan boleh jadi aku lebih banyak lupa menyertakannya dalam doa daripada dia yang tak pernah absen menyebut namaku dalam munajatnya.

Ya, Allah .... sungguh aku tak pantas menjadi temannya. Berikanlah dia sahabat terbaik, seseorang yang jauh lebih baik daripada hamba ....