CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 11 Juli 2016

Mark Wahlberg dan Matt Damon

Sampai sekarang ibuku tidak bisa membedakan mana Mark Wahlberg mana Matt Damon. Yep, kedua cowok kece ini memang punya wajah sebelas-dua belas. Sama-sama aktor terkenal, sama-sama ganteng dan kharismatik, sama-sama pirang. Awalnya pun kupikir mereka orang yang sama. Tapi setelah sering lihat wajah masing-masing sebenarnya nggak mirip-mirip amat. Tapi buat ibuku mereka sulit dibedakan.

Ibuku termasuk penggemar film Hollywood, meskipun tidak muda lagi. Banyak aktor-aktris yang dikenalnya, tapi ya begitu, kenal muka tapi nggak kenal nama. Mudahnya ibuku suka menyebut mereka dengan sebutannya sendiri. Matt Damon misalnya, ibuku menyebutnya 'yang bawa-bawa tas', idenya muncul dari film Bourne Indentity di adegan Jason Bourne menggendong tas merah saat dikejar polisi di gedung Kedutaan AS di Austria. Atau Mark Wahlberg, disebut dengan 'monyet-monyet', idenya dari film Planet Of The Apes. Begitulah.

Jadi setiap tayang film yang ada salah satu dari mereka, pertanyaan ibuku selalu sama. "Itu yang 'monyet-monyet' atau 'yang bawa-bawa tas'?"

Tiga Anggota Baru

Lebaran tahun ini jadi sangat sangat sangat berbeda karena keluarga kami mendapat 3 anggota baru. Tepat H-1 Lebaran, Miika melahirkan! Tiga ekor anak kucing gendut, sehat, dan menggemaskan.

Ada cerita lucu di balik proses melahirkannya. Karena sebelumnya aku tidak pernah punya kucing yang dipelihara sejak kecil sampai besar dan hamil hingga dia jadi kucing yang manja sekali, semua tingkah lakunya sebagai tanda-tanda melahirkan tidak bisa kubaca dan kumengerti dengan baik.

Kejadiannya sehabis subuh. Aku turun dari kamar atas, ibuku bilang Miika sudah mengeluarkan cairan (sepertinya air ketuban). Sebelumnya ibuku sudah mengarahkan Miika ke tempat melahirkan yang disiapkan, sekotak kardus dilapisi kain agar hangat--tapi sebelumnya juga Miika membuat tempat itu berantakan, mencakar dasar kardusnya sampai hancur (aku masih menebak-nebak apakah itu semacam sikapnya menolak tempat itu, atau dia berusaha membuatnya lebih nyaman dengan sobekan-sobekan dus, entah). Saat ibuku mengarahkannya ke sana, Miika tampaknya tidak mau (saat itu kupikir tebakanku lebih tepat yang pertama). Miika justru memilih masuk ke lemari rak terbawah--lemari baju orangtuaku. Jadi ketika aku turun dari kamar, dia sudah berbaring di sana dengan wajah tegang (kurasa menahan mulas, seperti ibu-ibu hamil yang sebentar lagi melahirkan), dan semua pakaian orangtuaku yang tadinya ada di sana sudah bertumpuk berantakan di atas tempat tidurnya--kamar orangtuaku mendadak jadi kapal pecah.

Sementara itu ku menyalakan televisi dan menunggu dengan santai, kupikir prosesnya bakal berjalan semulus jalan tol. Tinggal biarkan dia sendirian di dalam lemari, mungkin beberapa menit kemudian aku sudah melihat anak-anak kucing sedang menyusu pada induknya. Ternyata dugaanku salah besar. Hanya berselang sekian menit sejak aku menyalakan televisi dengan niat bersantai sambil menunggunya, Miika tiba-tiba berjalan keluar lemari masih dengan perut gendut, menggesek-gesek badannya pada kakiku, menyundul-nyundul kepalanyanya ke betisku, mengeong dengan suara yang membuatku kasihan mendengarnya.

Ya ampun, kupikir ini bakal mudah. Dia belum melahirkan dan mengeong seakan minta bantuan padaku. Apa yang bisa kulakukan? Akhirnya aku hanya mengelus-elus perut dan kepalanya, kuharap dia menjadi sedikit tenang dengan sentuhan-sentuhan itu. Dan ketika perhatianku teralih karena ibuku mengajak bicara, aku tidak sadar Miika berjongkok di hadapanku seperti posisinya kalau mau buang air. Ya ampun, aku tidak akan sadar apa yang dia lakukan kalau ayahku tidak menunjuknya. "Udah keluar, tuh."

Benar saja. Ketika perhatianku penuh kembali padanya, aku bisa melihat kepala anaknya sudah muncul. Aku panik--tentu saja, siapa yang bakal mikir seekor kucing tiba-tiba mengeluarkan anaknya di depan matamu. Ayahku menyuruhku memindahkannya. Ibuku berseru-seru panik, menyuruhku hal yang sama tapi tidak mau membantuku karena takut menyentuh Miika. Dengan kepanikan luar biasa aku tidak pikir panjang lagi, langsung mengangkatnya (dengan memegang bagian ketiaknya) sementara kakinya menggantung dengan kepala anaknya yang menyembul di sela-sela kaki. Ibuku berteriak, "Awas, anaknya nanti jatuh!" Dengan suara tinggi yang membuatku semakin panik, dan lagi-lagi tanpa membantuku. Aku tak punya ide lain bagaimana membawa Miika tanpa anaknya berisiko jatuh, maka kupegang saja kedua kakinya sehingga tanganku tanpa bisa dihindari terkena cairan kental yang keluar dari sana, entah darah atau yang lain. Kumasukkan Miika ke dalam lemari. Aku tidak bisa membuatnya jongkok seperti saat tadi (kupikir posisi itu membuatnya lebih mudah mengeluarkan anak-anaknya), sehingga dia hanya berbaring dengan perut gendutnya bergerak naik-turun tidak teratur, pelan-pelan mengeluarkan anaknya. Aku mengelus perutnya pelan dan lembut, sekali lagi kuharap sentuhan itu bisa membuatnya tenang. Setelah sekian menit, anak pertamanya berhasil keluar dengan utuh. Miika berpindah posisi ke sudut lemari dan menjilati anaknya yang masih basah diselimuti cairan kental dan lengket.

Aku bernapas lega, terharu melihat semua yang sudah terjadi itu langsung di depan mataku. Tapi ini belum selesai, karena kucing idealnya melahirkan anak lebih dari satu. Melihat perutnya, aku dan ibuku sudah menebak-nebak. Kubilang anaknya tiga ekor, kehamilan pertama mungkin tidak akan terlalu banyak. Ibuku menebak lima. Daaaan ... tebakankulah yang benar!

Miika melahirkan tiga ekor anak kucing. Proses kelahiran yang ke dua dan tiga tidak kusaksikan karena jaraknya ternyata cukup lama. Aku sampai bosan menungguinya di depan lemari, jadi kulanjutkan acara menonton TV--sambil sesekali mengintip ke dalam lemari.

Bayi kucing yang lahir pertama berbulu hitam dengan sedikit corak putih di wajahnya dan kaki-kaki mungilnya sehingga kucing kecil ini kelihatan seperti memakai dua pasang kaus kaki putih. Menggemaskan. Aku pernah berharap punya 'kucing kaus kaki', dan sekarang harapanku terkabul. Hihii senangnya~. Dan aku tidak tahu mana yang lebih dulu di antara ke dua anak yang lain. Satunya bercorak mirip sekali dengan yang pertama, dominan hitam dan putih di kakinya, yang membedakan hanya corak putih di wajah; yang ini coraknya di bagian bawah wajahnya. Dan satu ekor lagi berbulu antara abu-abu belang dan cokelat (sulit menjelaskan jenis warna apa dia), tapi yang pasti si meong satu ini yang paling berbeda di antara kedua saudaranya. Aku menamakan si hitam-putih yang pertama Oreo. Hitam-putih yang lain kunamakan Sera. Dan si belang-cokelat kunamakan Bambee.

Rasanya tidak sabar menunggu mereka besar untuk diajak main :3

Sabtu, 02 Juli 2016

Miika Kesayangan

Miika namanya, kucing kampung berbulu belang gelap, kucing kesayangan di rumah kami. Dia mendatangi rumah kami ketika usianya mungkin sekitar 3 atau 4 minggu (aku tidak tahu pasti), masih kucing kecil yg ringkih, kesepian, sendirian. Dia datang saat subuh hari, mengikuti adikku pulang dari masjid. Dia takut-takut masuk ke rumah kami, mungkin beberapa pengalaman-diusir mengajarkannya untuk hati-hati terhadap manusia dan tempat tinggalnya. Aku ingat itu hari Sabtu tahun yang lalu, tapi aku lupa di bulan September atau Oktober, minggu ke berapa. Namun itu tidak penting lagi karena kucing kecil itu telah menjadi anggota keluarga kami sejak hari itu.

Kedatangan Miika seakan menjadi hadiah yg dititipkan Allah padaku, karena sudah lama sekali aku ingin memelihara kucing. Tapi aku tahu ibuku tak akan pernah merestui. Baginya kucing adalah hewan yg jorok, bulunya rontok di mana-mana, suka mencakar kursi--yg lebih gawat lagi, suka mencuri makanan di dapur. Namun kemudian entah apa gerangan membuat ibuku pelan-pelan berubah pikiran. Mungkin sebab populasi tikus-tikus yg lebih menjijikkan semakin subur di ranah dapur dan gudang, itu membuat ibuku lama-lama jengah. Sepertinya ada hikmahnya juga banyaknya tikus di rumah kami--aku mendapat kesempatan untuk memelihara kucing *bersorak dalam hati*. Tapi prosesnya tidak secepat itu. Aku masih perlu bersabar karena ibuku tidak mau sembarang pungut anak kucing di jalan. Di lain cerita, kucing jantan berwajah lucu di tempat kerjaku yang lama sedang sekarat, tidak lama kemudian mati mengenaskan entah sebab apa. Namanya Betrand. Tahu kenapa diberi nama itu? Katanya sih karena bulunya bule (cokelat kekuningan). Agak maksa ya? Haha. Tapi mengenang kelucuan Betrand hanya membuatku sedih mengingat akhir hidupnya. Yang berhubungan dengan cerita ini adalah kucing betina pacarnya Betrand sedang hamil besar ketika dia mati. Temanku menawarkan anak-anaknya padaku saat lahir nanti. Dan begitu dua anak Betrand lahir, aku tak juga punya kesempatan untuk mengambilnya. Sampai akhirnya hari Sabtu pagi yang cerah itu tiba, ketika Miika datang ke rumah kami.

Ada kejadian lucu di hari pertama Miika datang. Dia buang air. Kalian tahu di mana? Persis di atas tempat tidur orangtuaku! Ya ampun, aku paniknya bukan main. Saat itu orangtuaku sedang tidak di rumah. Langsung cepat-cepat kucuci seprai yang kotor itu. Dalam hati aku mengeluh, bertanya-tanya, apakah ibuku akan mengusir Miika karena kotoran 'selamat datang'nya di seprai ibuku setelah penerimaan yang hangat.... Kutatap Miika dengan lirih, mengucap meskipun dia tidak mengerti bahasaku, "You're in big trouble, little girl." Ketika ibuku pulang dan mengatahui kejadiannya (mau tak mau aku ceritakan, karena aku tak punya alasan lain mengapa seprai tiba-tiba diganti), rasanya seperti seember air sejuk menyiram sekujur tubuhku. Lega. Ibuku hanya tertawa, tidak marah sama sekali. Ajaib. Aku tidak mengerti, ini seperti sebuah keajaiban, tapi aku tidak akan membahas itu lebih panjang atau ibuku akan berubah pikiran.

Aku tahu Miika perlu diajarkan untuk buang air pada tempatnya. Beberapa waktu lalu aku pernah membaca-baca artikel tentang memelihara kucing di internet, aku ingat pernah ada yang membahas bagaimana melatih kucing peliharaan agar terbiasa buang air di tempat yang disediakan. Aku ikuti saran itu. Kubuat toiletnya sendiri dengan baki plastik bekas, kuisi penuh dengan pasir kering, kuletakkan itu di bawah tangga (posisinya pas terhalang dari pandangan orang-orang). Itu bagian mudah. Hal sulitnya adalah membuatnya mengerti dia hanya boleh pup di sana. Butuh proses dan kesabaran. Aku mempelajari gerak-gerik Miika setiap dia mau buang air. Kelihatannya dia akan menuju tempat yang sama saat pertama kali dia melakukannya. Tempat tidur ibuku! Tidak lagi, Miika. Jadi setiap kali dia berjalan ke kamar ibuku, aku langsung menggendongnya ke pasir. Dia turun dan berlari kembali ke kamar, buru-buru aku menutup pintu. Dan aku kembali menaruhnya di atas pasir. Kejadian ini bisa berulang-ulang, tidak mungkin bisa berhasil di percobaan pertama. Awalnya dia sepertinya bingung, tapi kurasa setiap kucing mengenali secara alamiah bahwa pasir adalah 'toilet'nya. Rasanya bahagia melihat dia pup di pasir yang sudah kusediakan. Apalagi ketika dia dengan sendirinya berjalan dengan kaki-kaki mungilnya ke pasirnya atas inisiatifnya sendiri setiap mau pup. Ah, senangnya. Aku seperti seorang ibu yang berhasil mendidik putri kecilnya bisa cebok sendiri :"3

Cerita tentang Miika masih amat sangat panjang. Tapi aku sekarang tidak punya waktu sebanyak itu untuk menuliskannya. Mungkin lain kali.