CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 10 November 2013

Pahlawan Terabaikan

Selamat Hari Pahlawan Nasional!

Setiap tanggal 10 November kita selalu mengucapkan kalimat di atas. Sebagai lambang penghormatan kita pada para pahlawan nasional yang telah berjuang penuh pengorbanan harta dan nyawa demi kemerdekaan bumi pertiwi ini. Atas keberanian yang luar biasa besar, tekad yang bukan main tangguh, dan semangat pantang menyerah yang patut dijadikan teladan. Semua tentang ungkapan terima kasih kita pada para pahlawan-pahlawan yang harum namanya itu.

Tidak salah memang. Itu pantas kita lakukan. Meskipun hanya dengan lewat satu kalimat saja takkan pernah bisa melunasi utang kebebasan kita atas segala yg telah mereka korbankan sebagai bayarannya.

Tapi tanpa perlu jauh-jauh kembali ke masa lalu untuk memaknai Hari Pahlawan. Karena di sekitar kita banyak orang yang berjasa secara langsung dalam kehidupan kita, namun segala jasanya itu terlupakan. Terabaikan oleh tampilan yang seringkali kita anggap kecil, tidak ada apa-apanya.

Lihatlah asisten rumah tangga. Tiap hari membantu meringankan pekerjaan kita, melakukan apapun yang kita suruh, menyediakan segala kebutuhan kita. Coba saja jika mereka tidak ada. Kita yang terbiasa dimanja dengan segala kemudahan pastilah jadi repot. Kelimpungan. Rumah berantakan. Belum lagi kalau punya banyak anak.

Lihatlah petugas pengangkut sampah. Rela melakukan pekerjaan kotor, tiap hari berurusan dengan barang-barang busuk. Membawa gerobak berat dari satu tempat sampah ke tempat sampah lain. Coba saja jika mereka tidak ada. Sampah menumpuk, membusuk, wabah penyakit tersebar ke mana-mana. Lingkungan jadi tidak indah.

Lihatlah bapak satpam/hansip penjaga keamanan di lingkungan rumah. Setiap malam rela terjaga, berkeliling membelah dinginnya udara, memastikan rumah-rumah warga tidak disinggahi maling. Coba saja jika mereka tidak ada. Kita mungkin tidak akan tidur nyenyak, gelisah memikirkan apakah motor kita akan bernasib sama seperti motor tetangga kemarin malam, raib dibawa kabur maling.

Itu contoh sederhana saja. Masih banyak profesi lain yang jasanya sering tersepelekan. Kita anggap itu sudah tugasnya. Padahal jika mereka tidak ada, kita jadi kerepotan sendiri. Ini juga termasuk orangtua kita. Seringkali kebaikan apa yang kita terima dari orangtua kita anggap sebagai apa yang sudah seharusnya mereka berikan untuk kita. Kita anggap wajar. Seringkali begitu.

Lalu pernahkah sekali saja kita berterima kasih pada mereka?

Selamat Hari Pahlawan!

Sabtu, 09 November 2013

Pisau yang Menancap

Cinta itu ibarat pisau dengan ujung mata yang tajam.

Saat kita berani untuk jatuh cinta, ketika itu kita merelakan hati tertancap oleh sebilah pisau. Mereka yang jatuh cinta justru tidak akan merasakan sakitnya tertusuk pisau. Tapi rasa sakit itu baru akan dirasakan nanti. Mau percaya atau tidak, cepat atau lambat, cinta seperti apapun akan menimbulkan rasa sakit pada waktunya. Bukankah sudah banyak kasusnya?

Ketika cinta itu tidak lagi memberikan kebahagiaan.

Ketika cinta itu tidak lagi menyisakan kepercayaan.

Ketika cinta itu tidak lagi menghadirkan kesetiaan.

Cinta tinggalah luka.

Tapi sudah tahu hati terluka, terkadang kita enggan untuk menyerah. Kita memilih untuk bertahan, dengan sisa-sisa harapan yang masih mengakar demi serpihan cinta yang tersisa. Berkeras hati untuk menahan sakit. Tidak ingin segera melepasnya dengan alasan tak kuat menahan sakit yang lebih lagi jika cinta itu nanti dilepas.

Ibarat luka yang dalam tertancap belati. Sakit terasa menusuk. Jika belati itu dicabut, sakitnya takkan tertahan. Tapi jika belati itu dibiarkan menancap, mungkin luka itu belum mengeluarkan darah. Tapi sakitnya meski sedikit tetap akan menyiksa. Pelan-pelan tapi menggerogoti. Perlahan tapi pasti akan membusuk.

Bukankah jauh lebih baik dicabut? Dilepaskan? Rasanya pastilah sakit. Lukanya pastilah mengeluarkan banyak darah. Tapi sembuhnya akan lebih cepat. Begitu diobati, pelan-pelan lukanya akan tertutup. Pelan-pelan sakitnya hilang.

Sama seperti hati kita. Hati manusia.

Buat apa mempertahankan sesuatu yang terus saja membuat hati terluka dengan tusukan itu? Lebih baik dicabut sebelum membusuk. Lebih baik dilepaskan sebelum membuatnya lumpuh. Biar waktu yang akan menyembuhkan. Biar waktu yang akan membuatnya lupa akan rasa sakit itu.

Bukankah sejatinya cinta adalah melepaskan?