CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 10 November 2013

Pahlawan Terabaikan

Selamat Hari Pahlawan Nasional!

Setiap tanggal 10 November kita selalu mengucapkan kalimat di atas. Sebagai lambang penghormatan kita pada para pahlawan nasional yang telah berjuang penuh pengorbanan harta dan nyawa demi kemerdekaan bumi pertiwi ini. Atas keberanian yang luar biasa besar, tekad yang bukan main tangguh, dan semangat pantang menyerah yang patut dijadikan teladan. Semua tentang ungkapan terima kasih kita pada para pahlawan-pahlawan yang harum namanya itu.

Tidak salah memang. Itu pantas kita lakukan. Meskipun hanya dengan lewat satu kalimat saja takkan pernah bisa melunasi utang kebebasan kita atas segala yg telah mereka korbankan sebagai bayarannya.

Tapi tanpa perlu jauh-jauh kembali ke masa lalu untuk memaknai Hari Pahlawan. Karena di sekitar kita banyak orang yang berjasa secara langsung dalam kehidupan kita, namun segala jasanya itu terlupakan. Terabaikan oleh tampilan yang seringkali kita anggap kecil, tidak ada apa-apanya.

Lihatlah asisten rumah tangga. Tiap hari membantu meringankan pekerjaan kita, melakukan apapun yang kita suruh, menyediakan segala kebutuhan kita. Coba saja jika mereka tidak ada. Kita yang terbiasa dimanja dengan segala kemudahan pastilah jadi repot. Kelimpungan. Rumah berantakan. Belum lagi kalau punya banyak anak.

Lihatlah petugas pengangkut sampah. Rela melakukan pekerjaan kotor, tiap hari berurusan dengan barang-barang busuk. Membawa gerobak berat dari satu tempat sampah ke tempat sampah lain. Coba saja jika mereka tidak ada. Sampah menumpuk, membusuk, wabah penyakit tersebar ke mana-mana. Lingkungan jadi tidak indah.

Lihatlah bapak satpam/hansip penjaga keamanan di lingkungan rumah. Setiap malam rela terjaga, berkeliling membelah dinginnya udara, memastikan rumah-rumah warga tidak disinggahi maling. Coba saja jika mereka tidak ada. Kita mungkin tidak akan tidur nyenyak, gelisah memikirkan apakah motor kita akan bernasib sama seperti motor tetangga kemarin malam, raib dibawa kabur maling.

Itu contoh sederhana saja. Masih banyak profesi lain yang jasanya sering tersepelekan. Kita anggap itu sudah tugasnya. Padahal jika mereka tidak ada, kita jadi kerepotan sendiri. Ini juga termasuk orangtua kita. Seringkali kebaikan apa yang kita terima dari orangtua kita anggap sebagai apa yang sudah seharusnya mereka berikan untuk kita. Kita anggap wajar. Seringkali begitu.

Lalu pernahkah sekali saja kita berterima kasih pada mereka?

Selamat Hari Pahlawan!

Sabtu, 09 November 2013

Pisau yang Menancap

Cinta itu ibarat pisau dengan ujung mata yang tajam.

Saat kita berani untuk jatuh cinta, ketika itu kita merelakan hati tertancap oleh sebilah pisau. Mereka yang jatuh cinta justru tidak akan merasakan sakitnya tertusuk pisau. Tapi rasa sakit itu baru akan dirasakan nanti. Mau percaya atau tidak, cepat atau lambat, cinta seperti apapun akan menimbulkan rasa sakit pada waktunya. Bukankah sudah banyak kasusnya?

Ketika cinta itu tidak lagi memberikan kebahagiaan.

Ketika cinta itu tidak lagi menyisakan kepercayaan.

Ketika cinta itu tidak lagi menghadirkan kesetiaan.

Cinta tinggalah luka.

Tapi sudah tahu hati terluka, terkadang kita enggan untuk menyerah. Kita memilih untuk bertahan, dengan sisa-sisa harapan yang masih mengakar demi serpihan cinta yang tersisa. Berkeras hati untuk menahan sakit. Tidak ingin segera melepasnya dengan alasan tak kuat menahan sakit yang lebih lagi jika cinta itu nanti dilepas.

Ibarat luka yang dalam tertancap belati. Sakit terasa menusuk. Jika belati itu dicabut, sakitnya takkan tertahan. Tapi jika belati itu dibiarkan menancap, mungkin luka itu belum mengeluarkan darah. Tapi sakitnya meski sedikit tetap akan menyiksa. Pelan-pelan tapi menggerogoti. Perlahan tapi pasti akan membusuk.

Bukankah jauh lebih baik dicabut? Dilepaskan? Rasanya pastilah sakit. Lukanya pastilah mengeluarkan banyak darah. Tapi sembuhnya akan lebih cepat. Begitu diobati, pelan-pelan lukanya akan tertutup. Pelan-pelan sakitnya hilang.

Sama seperti hati kita. Hati manusia.

Buat apa mempertahankan sesuatu yang terus saja membuat hati terluka dengan tusukan itu? Lebih baik dicabut sebelum membusuk. Lebih baik dilepaskan sebelum membuatnya lumpuh. Biar waktu yang akan menyembuhkan. Biar waktu yang akan membuatnya lupa akan rasa sakit itu.

Bukankah sejatinya cinta adalah melepaskan?

Kamis, 22 Agustus 2013

Senyum Saja

Jika ada seseorang yang tersenyum padamu, bukankah kamu secara otomatis membalasnya? Ikut tersenyum juga, bukan? Dan tahukah kamu bahwa senyum itu menular? :)

Tentu saja. Ini tidak membutuhkan teori penelitian apapun, kamu sendiri selalu melakukannya (walaupun tanpa sadar), benar 'kan? :D

Itulah kekuatan senyum. Ketika melihat orang lain tersenyum pada kita, bagaimanapun suasana hati kita pada saat itu, mau tak mau kita ikut tersenyum--paling tidak sebagai bentuk kesopanan demi menghargai lawan bicara. Dan normalnya ketika kita melihat orang lain tersenyum, perasaan kita ikut bahagia. Karena orang yang mengangkat dua sudut bibirnya ke atas akan membuat wajahnya terlihat menyenangkan. Apalagi jika orang tersebut punya posisi/kepentingan yang khusus di mata kita. Pacar, misalnya. Setuju?

Tidak hanya tentang perasaan ketika kita melihat orang lain tersenyum. Tapi perasaan bahagia itu akan langsung kita rasakan ketika diri kita sendiri yang melengkungkan sebuah senyuman. Suasana hati jadi lebih menyenangkan. Saya pernah mencoba untuk tersenyum sepanjang hari. Tanpa perlu ada alasan untuk melakukannya. Senyum saja. Ketika bicara dengan lawan bicara, sekalipun ucapannya menyakitkan hati, senyum saja. Rasa jengkel yang menyetrum kesabaran saya ketika mendengar kata-katanya seolah-olah dihapus perlahan oleh senyum itu. Lalu pada saat menghadapi kemacetan (maklumlah tinggal di Jakarta), menghadapi pengendara ugal-ugalan, terhambatnya perjalanan sementara waktu terus memburu, senyum saja. Maka perlahan-lahan segala perasaan jengkel dan kesal itu dikikis perlahan oleh senyum itu. Tidak yakin? Coba saja sendiri.

Jangan biasakan tersenyum hanya ketika kita terpaksa membalas senyum seseorang.

Senyum saja. Bukankah senyum membuat wajah kita enak dilihat? :D

Senyum saja!

Rabu, 31 Juli 2013

Ramadhan Jaman Dulu

Saat pulang sholat Tarawih tadi malam, aku dan temanku melihat seorang gadis kecil yang juga baru pulang dari sholat seperti kami, digandeng ibunya yang mengenakan mukena putih. Alih-alih mengenakan mukena, gadis itu menggendong tas bergambar Winnie The Pooh di punggung.

Melihatnya membuatku teringat pada masa kecilku sendiri. Ketika aku masih seusia gadis itu. Menggebu-gebu setiap kali menjelang Isya. Bergerak gesit mempersiapkan perlengkapan sholat; mukena dan sajadah—lengkap dengan air minum, dimasukkan ke dalam tas tenteng kecil untuk dibawa sholat Tarawih. Tak lupa pula membawa beberapa perak uang, untuk dimasukkan ke kotak amal (tromol) yang dioper keliling selagi ustadz ceramah di depan mimbar—juga termasuk beberapa perak untuk jajan. Begitu suara teman-temanku terdengar memanggil dari depan pintu, aku bergegas keluar rumah dengan tak sabar—sampai tidak sadar berlari-lari di tangga (kayu) sampai ayahku menegur, jengkel melihat gadis kecilnya membuat keributan sekaligus membahayakan dirinya sendiri dengan tingkah hyperactive-nya itu. Kami pun berangkat meski adzan Isya masih beberapa menit lagi baru berkumandang.

Sesampainya di masjid, kami langsung menempati shaf favorit—barisan paling belakang! Hihi. Biasalah anak-anak. Pikiranku dulu, jika berada di dekat ibu-ibu, bisa kena semprot kalau kami berisik (tentu saja!). Lagi pula jika berada di barisan paling belakang, kami bakal lebih mudah pergi-pergi. Pergi ke mana? Tentu saja ke tukang jajanan langganan ketika acara ceramah pak ustadz dimulai. Haha.

Di belakang masjid ada lapangan sepak bola yang cukup luas. Bukan hanya aku dan teman-temanku, anak-anak lain yang juga sholat bersama kami banyak yang meninggalkan shaf sholatnya di jam ceramah untuk bermain atau juga membeli jajanan. Ada banyak pedagang yang berjualan di sana—tapi aku tidak ingat apa saja yang pernah dijual waktu itu xP

Satu yang kuingat hanya jajanan favoritku—makaroni bumbu pedas; makaroni yang digoreng kering sampai kriuk, diisi ke dalam plastik panjang (semacam plastik pembungkus es kenyot), kemudian dibumbui dengan bubuk cabai dan garam halus. Biasanya kami boleh membumbuinya sendiri sesuai selera. Dan sepertinya yang paling laku dari si abang makaroni ini ya bumbunya, karena bumbunya yang paling jadi rebutan. Hihi.

Setelah membeli jajanan, aku dan teman-teman segera kembali ke shaf kami. Bukannya untuk mendengarkan ceramah sih, tapi mengobrol :p Membahas macam-macam yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama ataupun apa yang sedang disampaikan pak ustadz. Karena aku biasanya pada malam-malam yang bukan akhir pekan tidak dibolehkan keluar bermain. Tidak punya kesempatan untuk bertemu dengan teman-temanku itu. Makanya selagi bisa keluar malam setiap hari, aku senang-senang saja mengobrol sepanjang waktu dengan mereka—sekalipun mengabaikan ceramah panjang lebar pak ustadz di depan. Karena keasyikan juga, biasanya sholat Tarawih empat rakaat pertama terlewat—kami memutuskan melanjutkan mengobrol, sekalian menghabiskan makaroni kami; kali ini dengan suara sedikit lebih pelan agar tidak menganggu mbak-mbak di kanan-kiri kami. Hehe. Niatnya sih empat rakaat berikutnya kami akan ikut sholat, tapi alasan lain membuat kami melewatkannya lagi. “Masih kekenyangan ah,” kataku. Temanku yang lain menyahut lain lagi, “Capek ah. Nanti saja pas Witir.” Lalu apakah kami melaksanakan sholat tiga rakaat terakhir itu? Tidak, saudara-saudara! XD Karena akhirnya merasa tanggung, kami pun tidak ikut lagi. Parahnya, kami cepat-cepat melipat mukena dan sajadah, memasukkan semuanya ke dalam tas, bersiap-siap sebelum sholat selesai. Tepat saat duduk tahiyat akhir, kami kompak meninggalkan masjid.

Ya Allah… Benar-benar masa kecil yang kacau. Aku tidak tahu aku dulu begitu badung sampai menyadarinya sekarang. Hihi. Untungnya kebiasaan seperti itu tidak terjadi lagi sekarang. Seiring bertambahnya usia tentu saja membuatku belajar mengemban tanggung jawab.

Tapi setiap kali melihat anak-anak seperti itu di masjid, aku hanya menggeleng-geleng maklum. Yah, dulu juga aku pernah melakukannya. Dan ketika mereka di kala dewasa melihat anak-anak seusia mereka saat ini, mereka juga pasti akan berpikiran sama denganku.

Selasa, 30 Juli 2013

Tips Menulis A La Tere-Liye

Tere-Liye, adalah salah satu penulis novel Indonesia yang menginspirasi aku banget. Pertama-tama dari pesan-pesan yang tersirat dari setiap novelnya. Dari yang nyentuh, sampai yang nampar. Dari yang bikin mata berkaca-kaca, sampai yang bikin sudut-sudut bibir melengkung naik. Bisa dibilang tidak ada kata yang tertulis di bukunya tanpa makna. Inilah salah satu impianku dari dulu; kepingin menulis kisah yang bisa menginspirasi--atau paling tidak bermanfaat bagi pembacanya. Selain itu, tata bahasa Bang Tere yang unik; simpel tapi nyentuh itu bikin aku kagum. Rangkaian katanya tidak pakai men-jelimet dengan bahasa sastra yang dewa, cukup dengan untaian kata-kata sederhana, namun kena di hati. Pokoknya aku ter-influent banget sama beliau.

Nah, berikut tips menulis (hasil dari kepo-in profil beliau lewat Google :p). Buat aku ini berguna banget. Kali ini mau aku repost dari web-nya. Mudah-mudahan bermanfaat juga buat temen yang lagi mampir. Lumayan kan dapet ilmu dari sang maestro (bang Tere-Liye, maksudnya). Enjoy this!


1. Ide Cerita

Bagi beberapa penulis pemula (ambil contoh aku sendiri) agak sulit untuk menemukan ide cerita yang bagus atau benar-benar ekslusif, dalam artian belum pernah diangkat sebelumnya. Jujur saja aku sendiri terkadang ragu, bahkan sampai berpikir mungkin saja ide ceritaku ini sudah pernah ditulis orang lain--walaupun tidak sama persis. Terjebak dengan ide pasaran. Sehingga melunturkan rasa percaya diri atas ide cerita sendiri.

Tapi kata Bang Tere, “Ide itu tidak ada yang jelek. Pada dasarnya ide itu sama, hanya saja yang membuat ia menjadi spesial ketika penulis melihat dari sudut pandang yang spesial."

Bisa diambil kesimpulan bahwa apapun idenya, yang membuatnya menjadi menarik adalah ketika kita bisa menuliskannya dalam sudut pandang yang berbeda dari yang sudah pernah ditulis orang lain. Sama juga dengan quotation yang pernah kubaca (lupa dari mana) menyebutkan kurang lebih seperti ini, "Ada banyak cerita roman di dunia ini, tapi tetap banyak suka yang membacanya." Jadi sepertinya mulai dari sekarang, tidak perlu lagi kita merasa takut pada ide cerita yang muncul. Yang penting adalah dari sudut pandang apa kita ingin menuliskannya.

2. Amunisi

Yang dimaksud oleh Tere-Liye di sini adalah bekal wawasan. Penulis harus memiliki kapasitas pengetahuan yang cukup demi menyelesaikan tulisannya. Salah satu caranya adalah dengan banyak membaca. Tidak hanya di buku, karena dari media internet pun kita bisa mendapatkan banyak ilmu. Selain itu harus rajin mengikuti perkembangan berita di televisi maupun radio.

Sebetulnya ada banyak cara untuk menambah wawasan--aku yakin kalian juga punya metode sendiri. Zaman sudah canggih, teknologi semakin maju. Bahkan orang-orang bilang ibarat dunia dalam genggaman tangan. Ponsel semakin pintar dan harganya semakin terjangkau. Untuk fitur yang bisa browsing aku yakin kalian pasti punya. Jadi minimal rajin mem-browsing apa saja untuk mengisi waktu senggang, bukan hanya baca buku.

Slogan "Penulis harus banyak membaca" itu buatku layaknya sebuah peraturan. Sedih waktu mendengar dari seorang temanku, dia ingin sekali jadi penulis tapi tidak hobi baca. Mengetahui itu rasanya aneh. Ya, buatku aneh banget. Bagaimana bisa ingin terjun ke dunia tulis-menulis tapi membaca saja sedikit sekali?

3. Tidak ada tulisan yang baik dan tidak ada tulisan yang buruk

Bagus tidaknya sebuah tulisan menurut Tere-Liye adalah RELATIF. Karena masing-masing pembaca memiliki penilaian berdasarkan poin yang berbeda. Satu pihak bisa saja menyukai, satu pihak yang lain bisa pula mencaci. Tidak ada karya yang terlepas dari kritik pedas.

Permasalahannya di sini adalah letak kepercayaan diri kita terhadap karya kita sendiri. Bagaimanapun karya yang telah kita hasilkan, jangan pernah malu dan takut untuk mempublikasikannya. Menurut Tere-Liye lagi, penulis yang baik adalah yang mau menerima kritik dan memperbaiki setiap kesalahan.

4. Mulai dari tulisan kecil

“Mulailah dari tulisan kecil, pendek tapi bertenaga, sederhana tapi bermanfaat,” kata Bang Tere.

Untuk memulai sebuah tulisan yang pertama-tama harus dihadapi adalah rasa takut (ini bagiku). Takut entah karena kurangnya rasa percaya diri, takut ditolak penerbit, takut karena ini, takut karena itu--belum mulai saja sudah banyak takutnya. Kalau begitu terus kapan bisa mulai? Kembali pada poin-poin sebelumnya di atas, kita harus membuang segala rasa takut itu dengan mulai menulis saja. Mulai dari tulisan kecil. Sederhana. Tapi bermanfaat. Selebihnya biarkan mengalir. Dipikirkan mungkin sulit, siapa yang tahu jika belum mencoba? ;)

5. Ketika mood sedang jelek

Wajar saja pada suatu ketika kita diserang mood jelek. Siapapun sulit rasanya untuk bisa menghindar dari suasana hati yang jelek. Dan biasanya jika sudah begitu, kita akan malas melakukan apapun, tidak bersemangat, tidak bergairah. Aku sendiri saat terserang mood jelek, biasanya paling tidak bisa menulis. Rasanya tulisanku jadi kurang feel. Kosong. Tidak bermakna.

Tapi kata Tere-Liye, mood jelek jangan dijadikan kebiasaan. Kita bisa melatihnya agar bisa tetap menulis di kala mood jelek sedang datang. Caranya adalah dengan terus menulis. Terus berlatih, berlatih, dan berlatih. Tidak ada solusi lain. Minimal menulis 1000 kata per hari. Sehingga meskipun mood jelek sering kali datang, kita sudah terbiasa untuk tidak berhenti menulis.

Karena tips yang ini pula aku bertekad menulis minimal 1000 kata per hari di blog ini. Menulis apa saja. Jangan biarkan apapun memutuskan jari (tangan) dan kepala kita dengan kata!

6. Pantang Menyerah

Setelah kita berhasil menyelesaikan sebuah karya, cepat-cepatlah dikirim ke penerbit. Tere-Liye memberi saran untuk mengirimkannya langsung ke penerbit ternama lebih dulu. Tidak perlu takut atau tidak percaya diri ketika karya kita ditolak untuk diterbitkan. Coba terus jangan sampai bosan. Masih banyak penerbit yang bersedia mempublikasikan karyamu ke dunia.

Hafalan Sholat Delisa sendiri sempat ditolak oleh dua penerbit besar Indonesia, namun teruslah mencoba. Sampai ketika novel tersebut diterbitkan oleh Republika, penerbit yang tadi menolak karya saya meminta untuk mengirimkan karya saya,” begitu kata Tere-Liye.

Enam dari tips ini jujur saja membuatku semakin bersemangat dalam menulis. Menumbuhkan motivasi sehingga menghasilkan kekuatan baru untuk memulai dan menyelesaikannya. Yah, aku memang belum sampai pada tahap penerbitan buku, tapi suatu saat itu pasti. Insya Allah. Ada keinginan, ada jalan. Siapa yang berusaha pasti akan berhasil. Man jadda wajada!

Semoga tips ini juga bermanfaat buat teman-teman :)

Teman Lama Dan Kenangan

Pertemuan kembali dengan kawan lama adalah hal yang tidak akan bisa dibeli dengan apapun.

Begitu aku mem-posting status Twitter tadi malam. Ya, karena semalam aku baru bertemu lagi dengan teman-temanku di kantor lama. Beberapa dari mereka terakhir kutemui bulan Maret lalu, dan sebagian lain yang lebih banyak terakhir kutemui hampir setengah tahun yang lalu (tepat setelah aku berhenti dari kantor sana).

Rindunya luar biasa. Mereka ini dulunya bukan cuma yang berada satu tim kerja denganku (beberapa memang iya). Tapi sebagian banyak dari mereka justru cuma teman kumpul. Biasalah, teman satu genk kalo bahasa gaulnya sih. Hihi. Sebelum aku di sana, genk ini memang sudah eksis. Namanya BERSEHATI (katanya sih kepanjangan dari BERsama-sama kita sakit HATI) wkwkw. Kocak ya! Memang itu yang bikin aku nyaman dengan mereka. Walaupun sebagian besar dari mereka bisa dikatakan usianya lumayan jauh di atasku *anak bontont nih hihi*, tapi jiwa muda mereka bikin salut pake banget. Mereka ini kumpulan orang gokil, berjiwa kreatif, petualang, dan solid. Seperti yang sudah kujelaskan di awal, mereka terbentuk dalam satu ikatan ini (konon katanya) gara-gara berada di bawah kepemimpinan yang otoriter. Yah, begitulah beratnya jadi karyawan—harus selalu siap ditindas. *tuh kan jadi OOT*

Genk BERSEHATI ini memang brother-sisterhood banget dan bersifat terbuka. Aku yang anak baru di kantor saja langsung diterima dalam genk mereka. Karena mereka paling nggak bisa serius (bawaannya bercanda mulu) buat aku enjoy aja, malahan bersyukur bisa gabung dengan mereka.

Persaudaraan dalam genk ini kental banget. Mereka bukan sekadar genk yang suka kumpul-kumpul nggak jelas demi menggosipi orang lain, atau keluar kota—jalan-jalan tiap bulan demi menghabiskan uang saku. Tapi lebih banyak kegiatan positif yang mereka lakukan bersama. Contohnya saja gerakan solidaritas buat temen lain yang lagi kena musibah seperti patungan, atau saling mendukung pas ada teman yang kena masalah sama atasan; satu kepala kena masalah, kepala-kepala yang lain ikut dipusingkan demi memikirkan jalan keluarnya. Dan kegiatan senang-senangnya juga pastinya banyak. Tapi selalu ada hikmah yang ingin kami dapat di setiap kesempatan itu. Misalnya patungan solidaritas untuk bikin acara kecil-kecilan buat teman yang sedang ulang tahun, kenaikan pangkat, atau juga farewell, acara buka puasa bersama, dan beberapa periode sekali bikin acara tour keluar kota (paling nggak ke Puncak :p); semuanya demi memperpanjang tali silaturahmi. Apalagi jika dihadiri anak-anak yang udah pindah kantor. Seru, ‘kan? Seperti misalnya aku yang sudah resign tetep bisa dekat sama mereka yang masih di sana, bahkan bisa kenalan sama anak-anak baru yang juga baru bergabung dengan genk ini. Tambah teman, tambah koneksi, dan yang pasti tambah saudara ;)

Acara semalam tadi dalam rangka ulang tahun dua teman kami, sekalian buka puasa bersama di daerah Tebet. Dari kantorku yang sekarang jaraknya bisa dibilang dekat banget. Sementara aku selesai kerja (khusus di bulan Ramadhan) jam 4 sore, aku memilih mampir dulu ke Gramedia Matraman. Lumayan ngadem sambil cari-cari inspirasi. Hihi. Nyaman banget rasanya menelusuri rak-rak buku baru. Dan berhubung aku sedang tidak berpuasa, menjelang magrib baru aku jalan dari Gramedia ke lokasi ngumpul. Siapa sangka, sampai di sana aku langsung dengar teriakan mereka memanggil namaku—padahal motorku baru masuk ke tempat parkir. Mereka sudah duduk-duduk di sebuah tempat—tempat menunggu dadakan, sebetulnya—karena seperti biasa pada bulan puasa seperti ini tempat makan di mana-mana penuh, harus mengantri.

Aku bergabung dengan mereka. Tak sabar memeluk dan mencium pipi demi menggelontorkan rindu pada mereka—yang cewek-cewek saja sih. Tak sabar bertukar banyak cerita. Senaaaang rasanya saat aku disambut seperti layaknya seorang teman lama yang dirindukan. Tapi sedihnya, mereka bilang aku kurusan. Hampir semua dari mereka berkomentar sama. Gara-gara itu, aku berniat menaikkan berat badan. Minimal 5 kilogram lagi!! *semangat 45*

Aku bukannya tidak bersyukur dengan ukuran tubuh ini. Tapi…. Please, aku terlalu kurus untuk ukuran tubuhku yang setinggi ini—nggak tinggi juga sih, tapi kurusnya kelewatan. Jadi tidak ideal sama sekali. Ketiup angin sedikit saja oleng. Kesenggol orang sedikit saja jatuh. Jangan sampai dibilang orang, “Motor sama orangnya, gedean motornya.” *pingsan* Berdasarkan gen ibuku, aku memang tipikal badan kurus. Nggak bisa tinggi pula. Tapi aku menyadari berat badanku ini dibandingkan sebelumnya memang menurun. Akhir-akhir ini memang malas makan sih, ditambah masalah ini dan itu yang bersarang di pikiran *kelepasan curhat* Jadi gemuk sedikit lagi demi kesehatan tidak masalah, ‘kan? Nggak indah juga melihat tonjolan tulang di mana-mana. Dan nggak lucu juga tiap ada angin harus buru-buru cari pegangan. Juga biar pas ketemu teman lama di suatu kesempatan lain mereka nggak akan bilang lagi “Kamu kurusan.”

Kembali ke acara buka puasa bareng, kami akhirnya bisa mendapat meja kira-kira jam setengah 7. Teman-teman yang berpuasa terpaksa ganjel perut dengan jajanan ringan yang berjejer di depan resto. Ada siomay, dan lain-lain (aku nggak sempat lihat-lihat sih ada jualan apa aja, keasyikan ngobrol. Hihi). Untuk bisa dapat meja pun kami harus bergerak—samperin mas-mas bagian reserved, nagih meja kami :P Habisnya kalau nggak begitu, kami bakalan duduk di luar terus, diserobot sama tamu-tamu yang bahkan datang setelah kami. Nyebelin, ‘kan?

Untuk sejumlah kami yang kira-kira ada 18 orang, kami diberi satu baris meja—yang penuh juga diisi sama kami se-genk. Makanan-makanan dipesan. Obrolan berlanjut. Ditambah acara foto-foto narsis yang berlangsung dari mulai makan sampai bubaran. Sungguh suasana yang menyenangkan. Berada dalam lingkaran pertemanan yang hangat. Duduk bersama, bertukar cerita, menikmati hidangan bersama, saling melempar tawa, saling beradu pose di depan kamera foto, ditemani alunan musik akustik dari pertunjukkan live band yang suara vokalisnya mengingatkanku pada si abang kece Jason Mraz.

Kenangan malam ini menambah jutaan memori yang tersusun rapi dalam ingatanku. Bersama dengan kenangan-kenangan lain bersama mereka. Dalam tawa, dalam tangis, dalam haru. Tak ada yang bisa membayar semua itu dengan uang atau materi apapun. Kenangan yang mungkin bagi orang lain kecil artinya, tapi buatku ini salah satu bagian kecil dalam susunan kenangan yang akan menjadi cerita di ujung usiaku kelak.

Kenangan, tidak peduli seindah atau seburuk apa; tidak peduli bersama siapa; tidak peduli di mana dan dalam keadaan bagaimana; tetap akan jadi cerita indah pada masa yang akan datang. Dan dengan menuliskannya akan membantu kita menyelaminya kembali, merasakan momen itu lagi. Seperti sebuah mesin waktu yang membawa kita kembali pada masa itu.

Rabu, 03 Juli 2013

Rinai Hujan Di Sudut Jendela

Teringat masa dimana kau ada di sisiku ketika ku menangis.

Jemarimu mengulur lembut menyentuh pipiku yang basah, menyeka, melenyapkan jejak air mata di sana.

Senyuman melengkung di wajahmu. Matamu sedih menatapku, tapi semua tersimpan rapi dalam hati, demi memancing senyum melengkung dari sudut-sudut bibirku.

Cerita lucu mengalir dalam suaramu yang lembut dan dalam, menemani sendu isak tangis yang sebelumnya memenuhi relung hatiku.

Kesedihan dalam hatiku pun perlahan sirna. Berganti senyum seperti yang kauharapkan.

Tapi kini kau tak di sini.

Tak kutemukan jemari tuk menghapus air mata di pipi.

Tak kutemukan senyum tuk membangkitkan ceria di wajahku.

Tak kudengar suara lembut yang bercerita menemani kesedihanku.

Yang tersisa hanya air mata. Dan jejak rinai hujan yang tertinggal di sudut jendela.