CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 31 Juli 2013

Ramadhan Jaman Dulu

Saat pulang sholat Tarawih tadi malam, aku dan temanku melihat seorang gadis kecil yang juga baru pulang dari sholat seperti kami, digandeng ibunya yang mengenakan mukena putih. Alih-alih mengenakan mukena, gadis itu menggendong tas bergambar Winnie The Pooh di punggung.

Melihatnya membuatku teringat pada masa kecilku sendiri. Ketika aku masih seusia gadis itu. Menggebu-gebu setiap kali menjelang Isya. Bergerak gesit mempersiapkan perlengkapan sholat; mukena dan sajadah—lengkap dengan air minum, dimasukkan ke dalam tas tenteng kecil untuk dibawa sholat Tarawih. Tak lupa pula membawa beberapa perak uang, untuk dimasukkan ke kotak amal (tromol) yang dioper keliling selagi ustadz ceramah di depan mimbar—juga termasuk beberapa perak untuk jajan. Begitu suara teman-temanku terdengar memanggil dari depan pintu, aku bergegas keluar rumah dengan tak sabar—sampai tidak sadar berlari-lari di tangga (kayu) sampai ayahku menegur, jengkel melihat gadis kecilnya membuat keributan sekaligus membahayakan dirinya sendiri dengan tingkah hyperactive-nya itu. Kami pun berangkat meski adzan Isya masih beberapa menit lagi baru berkumandang.

Sesampainya di masjid, kami langsung menempati shaf favorit—barisan paling belakang! Hihi. Biasalah anak-anak. Pikiranku dulu, jika berada di dekat ibu-ibu, bisa kena semprot kalau kami berisik (tentu saja!). Lagi pula jika berada di barisan paling belakang, kami bakal lebih mudah pergi-pergi. Pergi ke mana? Tentu saja ke tukang jajanan langganan ketika acara ceramah pak ustadz dimulai. Haha.

Di belakang masjid ada lapangan sepak bola yang cukup luas. Bukan hanya aku dan teman-temanku, anak-anak lain yang juga sholat bersama kami banyak yang meninggalkan shaf sholatnya di jam ceramah untuk bermain atau juga membeli jajanan. Ada banyak pedagang yang berjualan di sana—tapi aku tidak ingat apa saja yang pernah dijual waktu itu xP

Satu yang kuingat hanya jajanan favoritku—makaroni bumbu pedas; makaroni yang digoreng kering sampai kriuk, diisi ke dalam plastik panjang (semacam plastik pembungkus es kenyot), kemudian dibumbui dengan bubuk cabai dan garam halus. Biasanya kami boleh membumbuinya sendiri sesuai selera. Dan sepertinya yang paling laku dari si abang makaroni ini ya bumbunya, karena bumbunya yang paling jadi rebutan. Hihi.

Setelah membeli jajanan, aku dan teman-teman segera kembali ke shaf kami. Bukannya untuk mendengarkan ceramah sih, tapi mengobrol :p Membahas macam-macam yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama ataupun apa yang sedang disampaikan pak ustadz. Karena aku biasanya pada malam-malam yang bukan akhir pekan tidak dibolehkan keluar bermain. Tidak punya kesempatan untuk bertemu dengan teman-temanku itu. Makanya selagi bisa keluar malam setiap hari, aku senang-senang saja mengobrol sepanjang waktu dengan mereka—sekalipun mengabaikan ceramah panjang lebar pak ustadz di depan. Karena keasyikan juga, biasanya sholat Tarawih empat rakaat pertama terlewat—kami memutuskan melanjutkan mengobrol, sekalian menghabiskan makaroni kami; kali ini dengan suara sedikit lebih pelan agar tidak menganggu mbak-mbak di kanan-kiri kami. Hehe. Niatnya sih empat rakaat berikutnya kami akan ikut sholat, tapi alasan lain membuat kami melewatkannya lagi. “Masih kekenyangan ah,” kataku. Temanku yang lain menyahut lain lagi, “Capek ah. Nanti saja pas Witir.” Lalu apakah kami melaksanakan sholat tiga rakaat terakhir itu? Tidak, saudara-saudara! XD Karena akhirnya merasa tanggung, kami pun tidak ikut lagi. Parahnya, kami cepat-cepat melipat mukena dan sajadah, memasukkan semuanya ke dalam tas, bersiap-siap sebelum sholat selesai. Tepat saat duduk tahiyat akhir, kami kompak meninggalkan masjid.

Ya Allah… Benar-benar masa kecil yang kacau. Aku tidak tahu aku dulu begitu badung sampai menyadarinya sekarang. Hihi. Untungnya kebiasaan seperti itu tidak terjadi lagi sekarang. Seiring bertambahnya usia tentu saja membuatku belajar mengemban tanggung jawab.

Tapi setiap kali melihat anak-anak seperti itu di masjid, aku hanya menggeleng-geleng maklum. Yah, dulu juga aku pernah melakukannya. Dan ketika mereka di kala dewasa melihat anak-anak seusia mereka saat ini, mereka juga pasti akan berpikiran sama denganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar