CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 17 Maret 2016

Catatan Dari Balik Penjara Israel

Buku ini adalah salah satu hasil perburuanku di Islamic Book Fair 2016 minggu lalu. Teringat pada saat aku berkeliling di tengah orang-orang berdesakan, mataku tiba-tiba tertuju pada buku ini yang terletak di susunan teratas. Judulnya langsung membuatku tertarik pada detik pertama aku melihatnya. Catatan Dari Balik Penjara Israel. Belum lagi sampul bukunya yang terbilang tak kalah menarik. Seorang laki-laki memegang bendera Palestina, terduduk sendirian di balik bayang-bayang jeruji penjara. Benar-benar memancing rasa ingin tahu, bukan?

Bukunya tidak terlalu tebal, hanya sejumlah 128 halaman. Berisi 23 kisah tahanan Palestina di penjara Israel. Ditulis oleh Norma Hashim, seorang relawan Malaysia, yang memiliki tekad besar untuk membuka mata dan hati masyarakat dunia terhadap penderitaan para tahanan Palestina.
Rasanya cukup sulit menyelesaikan buku (tipis) ini. Meskipun kisahnya pendek-pendek, tetap berat rasanya bagiku untuk membayangkan apa yang mereka ceritakan. Para tahanan itu. Karena ini adalah kisah nyata, penderitaan mereka bukan karangan belaka yang dijual demi keuntungan materi seperti cerita dalam novel. Kepahitan dan duka yang mereka jalani hampir separuh hidup mereka di dalam penjara benar-benar terjadi ketika orang-orang di belahan dunia lain terlena dengan kebebasannya. Mungkin kita tidak pernah tahu, atau tidak pernah menyadari, bahwa selagi kita punya banyak kesempatan untuk melakukan apa saja yang kita inginkan, mencapai apapun impian kita, ada orang-orang seperti para tahanan Palestina yang bahkan melihat cahaya matahari saja tidak bisa. Kebebasan adalah harga yang sangat mahal bagi mereka.

Mirisnya banyak dari mereka ditangkap dan dijadikan tahanan meskipun tidak memiliki kesalahan apapun. Mereka bukan tentara atau pejuang, mereka hanya warga sipil; hanya seorang anak yang sedang menikmati kehangatan bersama ayah dan ibunya, hanya seorang ibu yang memiliki beberapa orang anak yang masih kecil-kecil; hanya seorang pemuda yang baru menikah dan akan jadi ayah. Mereka bahkan tidak tahu alasan mengapa tentara Israel membawa paksa mereka dari rumah mereka yang hangat, menjebloskan mereka ke dalam penjara yang sempit dan gelap. Mereka harus mendekam di balik dinginnya dinding penjara selama puluhan tahun (kebanyakan di atas 20 tahun). Harus terpisah dari orang-orang yang mereka cintai. Harus membiarkan anak-anak mereka lahir dan besar tanpa mereka. Dan mereka tidak tahu alasan mengapa mereka harus menjalani itu semua.
Satu alasan yang paling masuk akal atas penahanan itu adalah: karena mereka orang Palestina.
Mungkin mereka keras kepala, keras hati, keras keinginan. Mereka dijajah puluhan tahun, dari generasi ke genarasi, ditindas dengan cara apapun. Namun mereka masih tegak berdiri di tanah kelahiran mereka, tidak sejengkal pun mau menyerah apalagi angkat kaki. Boleh jadi kegigihan merekalah yang harus mereka bayar dengan kebebasan.

Beberapa informasi yang kudapat dari cerita di dalam buku, para tahanan ini diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka disiksa secara fisik maupun psikis. Yang sakit dibiarkan membusuk. Atau jika mereka boleh berobat, mereka sembuh hanya untuk disiksa kembali. Kunjungan keluarga juga dibatasi. Ada yang sudah ditahan bertahun-tahun baru mendapat kunjungan keluarga—itu pun hanya beberapa menit, dan pertemuan mereka dibatasi oleh dinding kaca tebal, hanya bisa saling mendengar suara dengan pesawat telepon.

Tidak sedikit pula dari para tahanan itu adalah wanita. Seorang ibu. Bayangkan anak-anak mereka takkan bisa tumbuh besar bersama dampingan kasih sayang ibunya. Mereka hanya akan melihat sang ibu ketika mereka tumbuh dewasa dengan wajah yang boleh jadi sulit dikenali oleh ibu mereka sendiri.

Amat miris. Teramat menyedihkan.

Membaca buku ini membuatku terpikirkan apa makna kebebasan sesungguhnya. Ali Alamuodi (salah satu tahanan yang ada kisahnya di dalam buku ini) mengatakan, “Tidak ada yang memahami arti kebebasan kecuali mereka yang pernah kehilangan hal tersebut.”

Kupikir itu benar. Aku (kami semua yang hidup di negara merdeka) menjalani kebebasan kami tanpa mengerti apa itu makna kebebasan. Kami besar bersama kedua orangtua. Kami bersekolah dari dasar sampai jenjang setinggi-tingginya. Kami berkarir seperti cita-cita kami. Kami beragama sebagaimana keyakinan yang kami percayai. Tanpa merasa adanya batasan untuk mendapatkan itu semua. Tanpa khawatir ada yang akan merampas itu dari kami. Kami merdeka, tapi kami tidak menyadarinya. Kami tidak tahu bahwa secuil dari apa yang kami miliki itu adalah sebuah kemerdekaan, sebuah kebebasan—yang tidak dimiliki rakyat Palestina. Bahkan secuil.

Aku setuju dengan penulis dan seluruh tim yang menyusun buku ini. Setiap orang di belahan dunia manapun—terutama mereka yang tinggal di tanah merdeka—perlu sekali membaca buku ini. Agar tidak hanya matanya yang terbuka, tapi juga hati dan pikirannya.

Ada sisi humanis yang disentuh setelah membaca buku ini. Menguji sejauh mana rasa empati kita. Akankah terus menutup mata dengan ketidakadilan? Akankah sekadar mengelus dada dan turut prihatin? Atau akankah lahir tindakan nyata untuk menolong mereka?

Recommended book.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar