CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 27 Oktober 2017

Dwilogi "NEGERI" Karya TERE LIYE: Parodi Cerdas Untuk Bobroknya Sebuah Negeri


Sedikit berat ulasan novel Tere Liye yang bakal kubuat kali ini. Tapi sekali lagi kugaris-bawahi, aku hanya hobi menulis, bukan seorang penulis resensi profesional, jadi mohon dimaklumi jika penilaianku kurang berbobot atau terkesan seena'e dhewe alias suka-suka-saya xD

Sebagai seorang warna negara, pernahkah kalian merasa muak dengan sistem hukum yang berjalan di negeri ini? Ketika hukum meruncing ke bawah dan tumpul ke atas? Korupsi merajalela? Suap di mana-mana? Penjahat besar dibiarkan kabur, sementara maling ayam dihajar massa sampai mati?

Kalau pertanyaan ini ditujukan padaku, tentu akan kujawab YA.

Kupikir, seperti itu juga yang dipikirkan oleh Tere Liye. Karena dari novel dwiloginya Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk, negara seperti itulah yang tergambar di dalam kisahnya.

Karakter yang menjadi sentral cerita adalah Thomas. Seorang konsultan keuangan lulusan 2 sekolah bisnis luar negeri, punya reputasi baik, dan dibayar paling mahal setiap kali mengisi acara seminar keuangan. Seorang laki-laki muda yang cerdas, berkelas, dan super sibuk. Dia punya selera humor yang baik. Yang paling menarik darinya adalah kemampuannya mempengaruhi orang lain.

Oh ya, Thomas juga punya hobi yang tidak banyak dilakukan orang. Bertarung. Ya, berkelahi seperti petarung-petarung hebat dalam arena adu fisik yang suka kita lihat di TV. Ceritanya ada sebuah klub petarung rahasia yang biasa didatangi oleh para eksekutif muda di Jakarta. Mereka berhadapan satu lawan satu, mengadu siapa yang paling kuat. Tapi hanya sekadar hobi. Baku hantam di arena, tapi di luar itu mereka semua justru menjadi sahabat baik satu sama lain.

Sebagai seorang konsultan keuangan ternama, Thomas menyimpan rahasia besar. Bahwa dia adalah keponakan satu-satunya Liem Soerja, pengusaha besar pemilik Bank Semesta yang nyaris kolaps karena banyak melakukan pelanggaran hukum. Dua puluh tahun sebelum cerita, Thomas yang memiliki nama kecil Tommi, mengalami tragedi mengerikan. Kedua orangtuanya dibakar massa yang mengamuk karena merasa dirugikan oleh perusahaan investasi yang didirikan oleh Om Liem dan papanya. Sejak kejadian itu, Thomas membenci sang paman dan memilih hidup terpisah seperti orang asing dari keluarganya.

Pada buku pertama, Negeri Para Bedebah, konflik terpusat pada masalah kolapsnya Bank Semesta pimpinan Om Liem. Thomas mencari cara agar bisa menyelamatkan bank tersebut sebelum benar-benar dinyatakan bangkrut oleh pemerintah. Bukan hanya karena para nasabah terancam kehilangan uang mereka jika Bank Semesta dinyatakan bangkrut. Ada pihak-pihak yang diuntungkan. Bukan juga tentang persaingan bisnis. Tapi Thomas mencium adanya konspirasi besar yang melibatkan orang-orang penting di pemerintahan. Karena itu, Thomas hanya punya 48 jam untuk meluruskan benang kusut.

Berhasilkah Thomas? Silakan baca hingga halaman terakhir :P

Petualangan kejar-kejaran Thomas ternyata berlanjut ke buku ke dua, Negeri Di Ujung Tanduk. Jika sebelumnya lebih banyak membahas masalah ekonomi dan keuangan, di sini Thomas melebarkan sayap ke dunia politik. Diceritakan Thomas membuka cabang bisnis baru perusahaan konsultannya sebagai penasihat politik.

Thomas bekerja untuk seorang kandidat presiden yang dia percaya memiliki visi dan misi sesuai dengan cara pandangnya selama ini. Orang itu disebut dengan nama JD. Thomas percaya dia seorang yang bersih, cocok menjadi pemimpin tertinggi untuk membenahi kebobrokan hukum di negerinya. Karena itu Thomas tidak ragu berdiri di belakangnya untuk mendukungnya sampai akhir.

Tapi tiba-tiba JD ditangkap polisi terkait tuduhan korupsi mega proyek ketika dulu menjabat sebagai gubernur ibukota. Tidak ada angin, tidak hujan. Penangkapan itu terlalu ganjil karena dilakukan satu hari menjelang pengumuman resmi terpilihnya JD sebagai satu-satunya kandidat capres dari partainya. Lagi-lagi Thomas mencium adanya konspirasi besar di balik penangkapan JD atas tuduhan tersebut. Kejahatan mafia hukum yang ternyata erat kaitannya dengan masalah setahun yang lalu, kolapsnya Bank Semesta. Otak penggeraknya adalah orang yang sama. Kali ini, sekali lagi Thomas hanya punya waktu 48 jam.

Kenapa aku milih baca dwilogi ini dulu padahal novel BINTANG yang lagi aku baca pun belum beres?

Jawabannya simpel. Aku penasaran berat sama Thomas setelah doi muncul jadi kameo di novel PERGI (sekuel PULANG). Ha ha ha...

Yes, seperti dugaanku, Thomas memang keren. Jenius, jago bela diri, dan menyebalkan (yang terakhir syarat cowok keren versi gue *bhahaha). Cuma satu yang meleset. Sekilas kameonya di PERGI, Thomas sudah punya kartu nama yang dirancang khusus mengeluarkan cairan kimia yang bisa melelehkan besi. Ini pasti dibuat setelah dia 2 kali ditangkap dan dikurung di sel dalam dwilogi asalnya. Kupikir Thomas memang punya semacam keahlian khusus melarikan diri. Nyatanya tidak sama sekali. Thomas hanya pengusaha kaya yang pakai cara klasik demi meloloskan diri dari penjara. Menyuap petugas penjara! *ngakaksambiltepokjidat


Well, mari kita mulai membahas novel ini secara serius (nggak juga sih).

Seperti judul yang kusematkan di atas. Kukatakan ini parodi. Karena kisah di dalam dwilogi ini tak ubahnya refleksi dari apa yang terjadi di negara kita. Sistem hukum yang menyedihkan, di mana keadilan meruncing ke bawah tumpul ke atas. Penjahat-penjahat kecil diterabas, maling ayam, maling sendal, pencuri kelapa--bahkan sebelum diproses secara hukum saja mereka keburu tewas dihajar massa. Sementara mereka yang punya kuasa, punya uang, punya jabatan, mau melanggar sekadar aturan lalu lintas, sampai tersangkut kasus korupsi besar-besaran, tenang saja mereka melenggang. Kalaupun tertangkap, toh ujung-ujungnya dipenjara hitungan 1-2 tahun, itu pun penjaranya senyaman rumah sendiri, fasilitas lengkap, bebas keluar-masuk.

Tere Liye meramu potret menyedihkan itu menjadi ide cerita yang digarap dengan cerdas. Kisahnya dibuat tampak seperti nyata. Rasanya nggak perlu lagi kita bahas gaya tulisan Tere Liye yang khas dengan alur mengalir, atau caranya menciptakan karakter tokoh-tokohnya yang begitu kuat. Mengangkat realita sebagai tema menjadi bumbu menarik untuk menyempurnakan cerita hingga terasa seperti benar-benar terjadi.

Di dalam novel dwilogi ini, para penegak hukum dianggap bedebah. Karena mereka sama saja hinanya seperti preman-preman pasar yang rasa keadilannya bisa dibeli dengan uang, ditawar dengan materi. Hukum dicederai, dihinakan, diinjak-injak. Jika sudah begitu, jika makin dibiarkan, tidak ada lagi yang peduli dengan rusaknya tatanan hukum yang seperti itu, maka negeri itu benar-benar di ujung tanduk, kehancurannya hanya menunggu waktu.

Bukankah gambaran itu mirip dengan apa yang terjadi di negeri ini?

Dwilogi ini (seperti novel-novel Tere Liye yang lain) bukan sekadar bacaan hiburan. Tapi juga mencerdaskan pembacanya. Ilmu ekonomi dan politik bertebaran di dua novel ini. Kamu seolah-olah sedang membaca buku ekonomi dan politik yang dikemas menjadi kisah hidup seorang tokoh fiktif. Menarik, bukan? Tapi tentu saja penjelasan-penjelasan tentang banyak teori ekonomi dan politik itu tidak sejelimet ketika kamu membaca buku-buku teks. Tere Liye selalu punya resep ajaib supaya kalimat penjelasan serumit apapun mudah dicerna oleh pembacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar