Minggu, 18 September 2016
Rembulan Tenggelam Di Wajahmu: Refleksi Makna Kehilangan
Senin, 29 Agustus 2016
Sedekah Ginjal
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Seorang ibu usia lanjut yang kaya raya akan melakukan transplantasi/cangkok ginjal untuk kelanjutan hidupnya. Setelah melalui proses seleksi yang ketat, ternyata satu di antara calon donor yang memenuhi syarat adalah seorang ibu muda yang miskin.
Saat tiba waktunya, kedua ibu ini harus bermalam di RS untuk mempersiapkan operasi cangkok ginjal. Di pagi hari yang telah ditentukan sebelum masuk ke ruang operasi, ibu kaya ingin bertemu ibu miskin yang bersedia menjadi pendonor ginjal. Namun di depan kamar, ibu kaya mendengar ibu pendonor ginjal sedang menangis. Setelah diketuk berkali-kali, pada akhirnya pintu pun dibuka.
Ibu kaya kemudian memperkenalkan diri. Lalu dia bertanya, "Apa yang menyebabkan ibu menangis?"
"Saya terpaksa menjadi pendonor ginjal karena saya sangat membutuhkan uang. Suami saya telah meninggal. Saya harus memelihara tiga anak saya yang masih perlu biaya untuk sekolah. Saya sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini seandainya saya punya uang," ujar ibu pendonor ginjal dengan penuh harap.
Mendengar penuturannya, ibu kaya merasa terharu. Sejenak kemudian dia berkata, "Saya sudah tua, sudah begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada saya. Saya pikir saya tidak perlu lagi ginjal. Kalau Allah menghendaki biarlah saya meninggal dengan penyakit ini. Ambillah uang itu sebagai sedekah dari saya. Untuk membiayai hidupmu dan biaya sekolah anak-anakmu. Saya ikhlas dengan penyakit ini."
Operasi akhirnya dibatalkan. Kedua ibu itu masing-masing kembali ke rumahnya.
Setelah beberapa lama, ibu kaya itu tidak lagi mengalami masalah dengan fungsi ginjalnya. Dia kembali melakukan cek ke RS dan ternyata dokter terkejut, karena ginjalnya kini berfungsi dengan baik.
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Secara medis hal seperti kisah di atas tidak mungkin terjadi. Namun bagi orang yang beriman, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Berkehendak.
Para pakar kesehatan mengatakan kesembuhan seperti ini disebut dengan "Quantum Healing". Proses yang terjadi tidak bisa dijelaskan oleh ilmu kedokteran. Saat ini, para ahli hanya bisa menjelaskan ada mekanisme psikoneuroendokrinimunologi, yakni mekanisme yang bermula dari kalbu / iman atau pikiran yang nantinya memengaruhi sistem persyarafan dan seterusnya memengaruhi fungsi hormonal dan sistem kekebalan tubuh dalam mencegah atau menyembuhkan suatu penyakit.
Jumat, 26 Agustus 2016
Pengharum Nama Bangsa Yang Tak Diperhatikan
Silakan disimak.
=======================================================================
Balada RIO dan MUSA
Kedua nama ini sedang menjadi trending topik di media sosial tanah air maupun dunia. Mereka adalah Musa sang hafidz dan Rio Hariyanto. Kedua anak bangsa ini berjuang menjadi yang terbaik di dunia dalam pertarungan di medan mereka masing masing. Musa sang hafidz sedang bertarung menjadi penghapal Al-Qur'an terbaik di dunia. Sementara Rio sang pembalap bertarung menjadi manusia tercepat di dunia. Mereka adalah aset bangsa yg langka. Di pundak mereka harga diri bangsa dicoba diangkat tinggi-tinggi.
Namun ... perlakuan kepada keduannya sangat berbeda.
RIO sang pembalap, begitu gegap gempita, asa kemenangan begitu tinggi walau sebenarnya tidak pernah memulai pitnya di 10 besar pada saat start. Dengan dukungan dana yang melimpah, 15 juta euro (hitung sendiri kalau dirupiahkan), yang diberikan para sponsor perusahaan-perusahaan besar di negeri ini. Wajar bila kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam ajang balap mobil paling bergengsi di dunia dapat menjadi kenyataan.
Sementara itu kita lihat MUSA. Sang hafidz cilik, hanya dengan modal kegigihannya yang besar, sungguh minim bahkan hampir tidak ada sponsor yang terdengar mendanai keikutsertaannya di ajang kompetensi penghapal Al - Quran Internasional di Mesir. Namun dengan rahmat Allah, Musa mampu meraih tempat terhormat dengan menjadi juara ke tiga ... di DUNIA!
Lihatlah betapa ketidakadilan sedang berlangsung di negeri ini. Segala lapisan kehidupan sosial masyarakat, tanpa rasa keadilan oleh negara, media hanya memberitakan yang sesuai dengan kepentingannya. Bahkan nama Kementerian Agama pun yang semestinya menyertai perjalanan Musa, tak pernah disebutkan.
Betapa berita kemajuan tentang Islam telah menjadi anak tiri di negeri muslim terbesar di dunia. Sungguh ironis.
Perkenalkan. Ini Musa, seorang penghapal Al-Qur'an cilik. Usianya baru 7 tahun. Bicaranya bahkan masih cadel. Namun lihatlah prestasinya melimpah. Bukan saja terbaik se-Indonesia, tapi juga se-Dunia dalam ajang kompetisi penghapal Al-Qur'an. Yang terbaru 14 April 2016 kemarin, dengan Batik Nusantara khas Indonesia, Musa berhasil jadi Juara 3, mengalahkan 80 peserta dari 60 Negara Musabaqah Hifzil Al-Qur'an International di Mesir. Hebatnya lagi, Musa adalah peserta termuda sedangkan peserta lain berusia rata-rata di atas 10 tahun.
Tetesan air mata haru, kagum, mengiringi Musa saat tiba giliran menjawab pertanyaan dan uji coba dari Juri yang tentu saja penguji-penguji kelas dunia. Soal-soal dijawabnya dengan tenang. Selesai lomba, yang berlomba kemudian adalah penonton. Berlomba berfoto dan mencium kepala Musa. Kagum! Bahkan Presiden Mesir memberi penghargaan khusus buat adik kita itu.
Itulah dia Musa. Seorang putra bangsa Indonesia. Ia tak butuh trilyunan rupiah sekedar untuk mengharumkan nama bangsa. Ia juga tak perlu mengemis sponsor milyaran untuk sekedar mengharumkan nama bangsa. Ia juga tak perlu merepotkan negara ratusan milyar. Bahkan tanpa menodong kementrian agar pegawainya potong gaji, untuk sekadar mengharumkan nama bangsa. Ya! Ia tak perlu semua itu untuk sekadar terkenal di dunia. Paling keren kita hanya mendapat berita kemenangan nasionalnya di salah satu stasiun TV. Karena standar definisi "Bangga" dan "Mengharumkan Nama Bangsa" masih belum kita sepakati dalam arti yang sama.
Tapi aku bangga padamu, Nak. Jika media mainstream tak memberitakanmu, biar kami saja yang mengabarkan tentangmu pada Indonesia, pada grup WA ini (atau kuposting ulang di blog ini atau media sosial lainnya, atau bahkan hanya dari mulut ke mulut).
Di tengah sesaknya berita politik yang menyampah, kita penuhi kabar negeri ini dengan berita baik. Berita positif. Berita gembira. Salah satunya dengan berita tentangmu. Agar bangsa kita bangga, dan menyadari bahwa negeri kita masih punya harapan, masih bisa berjaya tanpa mengeluarkan biaya setinggi langit. Tanpa minta minta dan mengemis.
=======================================================================
Terima kasih, MUSA ....
Semoga bermanfaat :)
Kamis, 25 Agustus 2016
Kebiasaan Penulis Fiksi
Aku selalu sebal ketika dalam hati sudah berniat untuk rajin posting di blog, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Sungguh menyebalkan! Satu dan lain hal selalu bisa jadi alasan; tidak punya waktu luang lah, sibuk dengan hobi lain lah, tidak mood lah. Ada saja, kan? Memang sudah seperti fitrah saja ya jika manusia suka sekali membuat alasan--eh, atau hanya aku saja ya?
Baiklah. Lupakan saja soal itu.
Siang ini ketika waktu-waktu senggang di tengah jam kerja, aku iseng berselancar di dunia maya. Dan menemukan tips hebat untuk masalah tulis-menulis yang sangat menarik untuk disimak. Tips ini aku comot dari situs indonovel.com, yang meniru konsep dari Dr. Stephen R. Covey berjudul 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif (1989).
Pernah mendengar Hukum Pareto (Aturan 80/20)? Bahasa mudahnya, hukum ini mempresentasikan 80 % keberhasilan kita berdasarkan 20% dari apa yang kita kerjakan. Atau dengan kata lain, kita bisa mencapai keberhasilan 80% hanya dengan memaksimalkan usaha 20% saja. Jadi kesimpulannya, apa yang kita lakukan selama ini lebih banyak tidak efektifnya.
Jadi ... bagaimana solusinya?
Simak!
1. Menjadi Proaktif
Ini salah satu solusi efektif mengatasi writers blog. Semua penulis tahu WB alias writers block sudah menjadi "penyakit" yang mudah sekali menyerang kami. Bahaya sekali kalau sudah kena, tulisanmu dijamin terabaikan jika penyakit ini tidak segera diobati. Serius! Aku (dan aku yakin banyak penulis lain) sering kali mengikuti tips apapun untuk menyembuhkan penyakit ini. Seperti mendengarkan musik, refreshing ke tempat-tempat baru, membaca karya penulis lain, dsb. Tapi sudah dilakukan pun belum juga berhasil. Kenapa? Karena saran-saran di atas adalah contoh solusi dari luar. Sementara WB adalah penyakit yang sebetulnya datang dari dalam diri sendiri.
Jadi beradasarkan konsep Covey, solusinya ada pada 2 pilihan:
Memilih kalah dan mencari pembenaran (lagi nggak mood, butuh tempat sepi, cuaca terlalu panas, menunggu datangnya inspirasi, dll)
atau...
Memilih untuk tetap menulis.
2. Menyusun Cerita Hingga Ending
Banyak dari penulis yang terbiasa langsung mengeksekusi tulisannya ketika muncul sebuah ide cerita, meskipun endingnya belum tahu akan seperti apa (maksudku, aku *haha). Padahal alangkah baik jika sebelum ditulis, kita sudah mengetahui akhir dari perjalanan tokoh dalam cerita kita.
Tambahan tips dariku: membuat outline. Ini akan memudahkan kita dalam menulis. Tidak perlu rinci, yang terpenting adalah poin-poin utama yang akan diceritakan. Jika sudah terbayang alurnya, runutan cerita, maka besar kemungkinan kita akan terhindar dari masalah kebuntuan ide di tengah jalan nanti.
3. Memprioritaskan Menulis
Kita (aku) sering mengatakan tidak punya waktu untuk menulis. Padahal untuk melakukan hal-hal lain yang tidak penting masih saja sempat (twitteran, facebookan, atau bahkan nonton TV). Sedikit kutipan dari situs sumber tips ini yang akan aku tebalkan dan garis bawahi:
Menulis bukan perkara Anda punya waktu atau tidak. Menulis adalah pilihan.
Setuju banget!
Jadi, jika menulis itu penting, maka prioritaskanlah waktu untuk menulis.
4. Mengerti Pembaca Sebelum Dimengerti
Pernah tidak sih merasa gusar sendiri ketika membaca review negatif untuk tulisanmu? Jujur, aku selalu kesal. Terlintas dalam pikiran, "Mereka berkomentar begini karena tidak bisa memahami ceritaku." Merasa bahwa tulisanku sudah sedemikian sempurna sehingga keberatan untuk dikritik.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi secara objektif, kritikan-kritikan itu ternyata ada benarnya. Padahal jika kita mau sedikit merendahkan hati dan mengesampingkan ego, kritikan seperti itu justru bisa menjadi masukan paling baik. Batu yang keras bahkan memiliki lubang walau kecil. Kritikan yang demikian itu adalah penambalnya.
Karena jika kita menolak kritik, kemampuan hanya akan jalan di tempat.
5. Mengasah Pena
Seperti gergaji yang akan tumpul jika tidak diasah, begitu juga dengan kemampuan menulis. Seorang tukang kayu akan berhenti sejenak untuk mengasah gergajinya. Maka kita sebagai penulis juga perlu sesekali berhenti dari kegiatan menulis untuk mengasah kemampuan kita. Cari refrensi terbaik, membaca buku-buku penulis lain dan mempelajari teknik menulisnya, atau menonton film untuk menemukan ide-ide segar.
Semoga bermanfaat ;)
sumber: indonovel
Senin, 11 Juli 2016
Mark Wahlberg dan Matt Damon
Sampai sekarang ibuku tidak bisa membedakan mana Mark Wahlberg mana Matt Damon. Yep, kedua cowok kece ini memang punya wajah sebelas-dua belas. Sama-sama aktor terkenal, sama-sama ganteng dan kharismatik, sama-sama pirang. Awalnya pun kupikir mereka orang yang sama. Tapi setelah sering lihat wajah masing-masing sebenarnya nggak mirip-mirip amat. Tapi buat ibuku mereka sulit dibedakan.
Ibuku termasuk penggemar film Hollywood, meskipun tidak muda lagi. Banyak aktor-aktris yang dikenalnya, tapi ya begitu, kenal muka tapi nggak kenal nama. Mudahnya ibuku suka menyebut mereka dengan sebutannya sendiri. Matt Damon misalnya, ibuku menyebutnya 'yang bawa-bawa tas', idenya muncul dari film Bourne Indentity di adegan Jason Bourne menggendong tas merah saat dikejar polisi di gedung Kedutaan AS di Austria. Atau Mark Wahlberg, disebut dengan 'monyet-monyet', idenya dari film Planet Of The Apes. Begitulah.
Jadi setiap tayang film yang ada salah satu dari mereka, pertanyaan ibuku selalu sama. "Itu yang 'monyet-monyet' atau 'yang bawa-bawa tas'?"
Tiga Anggota Baru

Sabtu, 02 Juli 2016
Miika Kesayangan
Miika namanya, kucing kampung berbulu belang gelap, kucing kesayangan di rumah kami. Dia mendatangi rumah kami ketika usianya mungkin sekitar 3 atau 4 minggu (aku tidak tahu pasti), masih kucing kecil yg ringkih, kesepian, sendirian. Dia datang saat subuh hari, mengikuti adikku pulang dari masjid. Dia takut-takut masuk ke rumah kami, mungkin beberapa pengalaman-diusir mengajarkannya untuk hati-hati terhadap manusia dan tempat tinggalnya. Aku ingat itu hari Sabtu tahun yang lalu, tapi aku lupa di bulan September atau Oktober, minggu ke berapa. Namun itu tidak penting lagi karena kucing kecil itu telah menjadi anggota keluarga kami sejak hari itu.
Kedatangan Miika seakan menjadi hadiah yg dititipkan Allah padaku, karena sudah lama sekali aku ingin memelihara kucing. Tapi aku tahu ibuku tak akan pernah merestui. Baginya kucing adalah hewan yg jorok, bulunya rontok di mana-mana, suka mencakar kursi--yg lebih gawat lagi, suka mencuri makanan di dapur. Namun kemudian entah apa gerangan membuat ibuku pelan-pelan berubah pikiran. Mungkin sebab populasi tikus-tikus yg lebih menjijikkan semakin subur di ranah dapur dan gudang, itu membuat ibuku lama-lama jengah. Sepertinya ada hikmahnya juga banyaknya tikus di rumah kami--aku mendapat kesempatan untuk memelihara kucing *bersorak dalam hati*. Tapi prosesnya tidak secepat itu. Aku masih perlu bersabar karena ibuku tidak mau sembarang pungut anak kucing di jalan. Di lain cerita, kucing jantan berwajah lucu di tempat kerjaku yang lama sedang sekarat, tidak lama kemudian mati mengenaskan entah sebab apa. Namanya Betrand. Tahu kenapa diberi nama itu? Katanya sih karena bulunya bule (cokelat kekuningan). Agak maksa ya? Haha. Tapi mengenang kelucuan Betrand hanya membuatku sedih mengingat akhir hidupnya. Yang berhubungan dengan cerita ini adalah kucing betina pacarnya Betrand sedang hamil besar ketika dia mati. Temanku menawarkan anak-anaknya padaku saat lahir nanti. Dan begitu dua anak Betrand lahir, aku tak juga punya kesempatan untuk mengambilnya. Sampai akhirnya hari Sabtu pagi yang cerah itu tiba, ketika Miika datang ke rumah kami.
Ada kejadian lucu di hari pertama Miika datang. Dia buang air. Kalian tahu di mana? Persis di atas tempat tidur orangtuaku! Ya ampun, aku paniknya bukan main. Saat itu orangtuaku sedang tidak di rumah. Langsung cepat-cepat kucuci seprai yang kotor itu. Dalam hati aku mengeluh, bertanya-tanya, apakah ibuku akan mengusir Miika karena kotoran 'selamat datang'nya di seprai ibuku setelah penerimaan yang hangat.... Kutatap Miika dengan lirih, mengucap meskipun dia tidak mengerti bahasaku, "You're in big trouble, little girl." Ketika ibuku pulang dan mengatahui kejadiannya (mau tak mau aku ceritakan, karena aku tak punya alasan lain mengapa seprai tiba-tiba diganti), rasanya seperti seember air sejuk menyiram sekujur tubuhku. Lega. Ibuku hanya tertawa, tidak marah sama sekali. Ajaib. Aku tidak mengerti, ini seperti sebuah keajaiban, tapi aku tidak akan membahas itu lebih panjang atau ibuku akan berubah pikiran.
Aku tahu Miika perlu diajarkan untuk buang air pada tempatnya. Beberapa waktu lalu aku pernah membaca-baca artikel tentang memelihara kucing di internet, aku ingat pernah ada yang membahas bagaimana melatih kucing peliharaan agar terbiasa buang air di tempat yang disediakan. Aku ikuti saran itu. Kubuat toiletnya sendiri dengan baki plastik bekas, kuisi penuh dengan pasir kering, kuletakkan itu di bawah tangga (posisinya pas terhalang dari pandangan orang-orang). Itu bagian mudah. Hal sulitnya adalah membuatnya mengerti dia hanya boleh pup di sana. Butuh proses dan kesabaran. Aku mempelajari gerak-gerik Miika setiap dia mau buang air. Kelihatannya dia akan menuju tempat yang sama saat pertama kali dia melakukannya. Tempat tidur ibuku! Tidak lagi, Miika. Jadi setiap kali dia berjalan ke kamar ibuku, aku langsung menggendongnya ke pasir. Dia turun dan berlari kembali ke kamar, buru-buru aku menutup pintu. Dan aku kembali menaruhnya di atas pasir. Kejadian ini bisa berulang-ulang, tidak mungkin bisa berhasil di percobaan pertama. Awalnya dia sepertinya bingung, tapi kurasa setiap kucing mengenali secara alamiah bahwa pasir adalah 'toilet'nya. Rasanya bahagia melihat dia pup di pasir yang sudah kusediakan. Apalagi ketika dia dengan sendirinya berjalan dengan kaki-kaki mungilnya ke pasirnya atas inisiatifnya sendiri setiap mau pup. Ah, senangnya. Aku seperti seorang ibu yang berhasil mendidik putri kecilnya bisa cebok sendiri :"3
Cerita tentang Miika masih amat sangat panjang. Tapi aku sekarang tidak punya waktu sebanyak itu untuk menuliskannya. Mungkin lain kali.
Kamis, 30 Juni 2016
Bahagia Itu Sederhana
Pernahkah kita berpikir bahwa bahagia bisa datang dari apa yang kita keluarkan dari diri kita?
Ya, memberi, berbagi. Apapun, tidak perlu dengan materi. Memberi bantuan pada seseorang yang mengalami kesulitan di jalan misalnya; membantu ketika ada orang yang bertanya alamat; membantu seseorang yang kendaraannya mogok; membantu orang lain menyebrangi jalan. Atau meringankan pekerjaan asisten rumah tangga dengan mengerjakan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri. Atau membantu tetangga memberikan pinjaman perkakas yang dibutuhkan. Bahkan menyingkirkan duri, ranting pohon, atau beling (apapun yang membahayakan pengguna jalan) demi keamanan mereka.
Kelihatannya sepele, remeh, kecil tak berarti. Begitu ringan, begitu mudah kita lakukan. Mungkin kelihatannya tidak seberapa dan bukan apa-apa. Tapi bagi orang yang dibantu akan sangat merasa tertolong. Boleh jadi dia hanya membalas dengan ucapan terima kasih dan sebuah senyuman. Tapi ketika kita melihat wajahnya, akan timbul perasaan hangat di hati. Rasa bahagia. Itulah sensasi yang kita dapatkan setiap kali menolong kesulitan orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang memberikan kemudahan (bantuan) kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat." (HR. Muslim)Allah menjanjikan kita kelapangan urusan (bahkan tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat) jika kita membantu kesulitan orang lain. Tetapi jangan hanya karena janji tersebut lantas kita baru terpikirkan untuk menolong orang lain. Karena sejatinya kita mencari kepuasan batin, kepuasan jiwa, kepuasan sosial, atas bantuan-bantuan kecil yang mungkin tidak berarti di mata orang lain. Seperti senyuman yang menular, maka dengan membantu orang lain tidak hanya membuat orang tersebut bahagia, namun sesungguhnya kita juga sedang membuat diri kita bahagia. Ya, salah satu cara membahagiakan diri sendiri adalah dengan membahagiakan orang lain. Tidak perlu dengan materi, tapi lakukanlah apa yang bisa kita lakukan. Tentu semakin besar yang bisa kita beri, diri sendiri pun akan merasa semakin terpuaskan.
Bahagia itu sederhana, bukan?
Rabu, 29 Juni 2016
Semangat Baru
Sudah lama banget ya rasanya nggak nulis di blog ini.
Rasanya sebel sendiri deh. Dari dulu punya blog tapi jarang banget diisi, jarang posting. Kebanyakan karena sibuk, nggak punya waktu luang, lebih banyak lagi karena malas. Yes, sekalinya ada waktu luang, lagi senggang, justru tergoda untuk melakukan hal-hal lain. Melahap novel, nonton film, nonton drama Asia, tidur *ups.
Belakangan ini fokusku tersita untuk beradaptasi di kantor baru, menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru, dan tentu saja dengan lingkungan baru. Aku bukan orang yang mudah terbiasa, sehingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk menikmati semua itu. Satu dan lain hal terkadang menjadi batu sandungan--kurasa tidak hanya sekadar batu sandungan, tapi tembok besar nan kokoh berdiri di hadapanku, menghalangi jalanku. Well, aku perlu bekerja keras untuk terbiasa dan bertahan. Sebelumnya aku memang punya masalah soal pekerjaan. Lebih ke urusan prinsip. Beberapa kali aku harus berhenti dari satu perusahaan karena etos kerjanya tidak sesuai dengan prinsipku. Sejak lulus kuliah, aku sudah bekerja di empat perusahaan berbeda--lima dengan tempat kerjaku sekarang. Dari ke empatnya, hampir semua di mana aku memilih berhenti karena prinsip yang tidak sesuai. Di tempatku yang sekarang kuharap aku akan bertahan lama, paling tidak hingga kebutuhan-kebutuhan jangka pendekku tercapai. Aku bukan orang yang loyal pada perusahaan, jujur saja. Orientasiku bukan karir. Bagiku pribadi, karier seorang wanita sesungguhnya adalah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Ketika dia berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama suaminya, berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang yang bermanfaat, maka di situlah prestasinya. Itu cita-cita terbesarku. Tapi ... sekarang mungkin belum bisa, karena aku perlu mengorbankan cita-cita itu demi menghidupi ayah dan ibuku.
Berpikir tentang tulis-menulis, beberapa waktu lalu aku akhirnya menghapus hampir semua cerita fiksi yang dipublikasi sebuah situs penggemar. Cerita-cerita yang sudah kuterbitkan selama rentang 8 tahun ini sejak aku bergabung di situs itu. Rasanya memang disayangkan. Sebelum melakukan itu pun aku melalui banyak pertimbangan, salah satunya adalah pertanyaan pada diriku sendiri, apakah aku tidak akan menyesal setelah menghapusnya. Namun kemudian akhirnya tekadku bulat untuk menghapus cerita-cerita itu. Yang kuterima kemudian adalah protes dari para pembaca. Banyak yang menyayangkan, banyak yang menghujat, dan beberapa dari mereka mencoba memahami apa yang kulakukan meskipun (kemungkinan besar) mereka tidak tahu apa alasanku. Aku sudah menduga akan menerima komentar-komentar itu. "Kenapa dihapus?" "Sayang sekali." "Kau membuatku kecewa." Dan sebagainya. Terkadang komentar-komentar itu membuatku jengah dan sedih (terkadang kesal). Tapi aku sudah putusakan untuk tidak akan mengembalikannya. Aku sudah memutuskan dan aku yakin keputusan itu benar. Teman-teman dekatku mendukungku dengan bijak, aku beruntung memiliki mereka.
Jadi ... apa sebenarnya alasanku menghapus cerita-cerita fiksi itu?
Aku berpikir dan berpikir ulang apa sebenarnya tujuanku menulis. Hingga pada akhirnya aku menemukan sesuatu yang pernah kujadikan prinsip dalam menulis. Aku ingin menginsipirasi orang lain dengan tulisanku. Ya, aku pernah bercita-cita seperti itu. Penulis favoritku adalah Tere Liye, dan itulah yang kurasakan ketika membaca tulisan-tulisannya. Inspirasi. Betapa kagumnya aku padanya, sehingga beliau tidak hanya sekadar penulis favorit untukku tapi juga role modelku dalam tulisan. Aku ingin menulis seperti beliau, aku ingin menginspirasi seperti beliau. Dan melihat lagi tulisan-tulisan yang pernah kubuat, aku jadi malu sendiri. Manfaat apa yang bisa kudapat dari tulisan-tulisan ini? pikirku. Paling-paling hanya sebagai hiburan, tidak ubahnya cerita-cerita sinetron murahan di televisi lokal, tidak ada bedanya dengan obrolan seru perempuan-perempuan yang suka bergosip.
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. -Rasulullah saw- (HR. Thabrani)Di mana letak gunanya tulisanku jika itu tidak bermanfaat bagi pembacanya? Dan satu lagi yang kutakutkan dari tulisan-tulisanku adalah ketika ada hal buruk di dalamnya (meskipun aku tidak bermaksud menulisnya) lalu ditiru oleh pembacanya. Maka ketika dia berdosa, aku pun mendapatkan dosa yang sama, karena sejatinya akulah yang mencontohkan perbuatan buruknya. Astaghfirullah ... naudzubillahimindzalik. Sudah cukup apa yang sudah kutulis selama ini, hal-hal yang tidak bermanfaat. Aku tidak akan sanggup menanggung dosa karena perbuatan orang lain yang dicontohnya dari tulisanku. Maka aku berhenti.
Tapi sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia dengan sebuah kelebihan. Mungkin aku dianugrahkan kelebihan dalam menulis, merangkai kata-kata (menurut teman-teman pembaca aku berbakat). Semua kukembalikan lagi pada Sang Pencipta. Jika memang ini kelebihanku, maka insya Allah aku akan memanfaatkannya untuk kebaikan.
Semangat! :D
Minggu, 20 Maret 2016
[REVIEW] Red Cliff: Pertempuran Di Tebing Merah

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Cerita dimulai dengan pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei bersama rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran penasihatnya, Zhuge Liang (Takeshi Kaneshiro), mereka membentuk aliansi dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Kedua pihak sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao. Dan pasukan aliansi ini dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Shido Nakamura) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit aliansi terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk bisa mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.
Film ini mengingatkanku pada film kolosal Hollywood yang tayang 4 tahun lebih dulu. Troy. Sama-sama film bertema perang, sama-sama memperlihatkan strategi perang yang luar biasa sebagai salah satu daya tariknya. Tapi menurutku, taktik perang dalam Red Cliff tampak lebih menarik dan cerdas. Jika Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse yang dipakai pasukan Achilles untuk menembus benteng Kerajaan Troya, sementara Red Cliff menggunakan taktik arah angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Tidak hanya itu, masih banyak taktik lain yang membuatku sebagai penonton ternganga kagum. Seperti taktik milik Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh (agak ngakak juga di bagian ini, karena pasukan Cao Cao benar-benar dibodohi). Atau taktik pertahanan dari serangan pasukan Cao Cao yang dipakai Zhou Yu yang membuat kepalaku menggeleng-geleng kagum.
Selain strategi-strategi cerdas itu, film ini juga mengandung nilai-nilai humanis, patriotis, dan sarat akan seni budaya. Minum teh bagi kita adalah hal yang biasa. Tapi bagi bangsa Cina, minum teh adalah seni yang mengandung makna khusus. Ada cara-cara khusus untuk menyeduhnya, juga saat menyajikannya. Tiap tahap memiliki filosofi mendalam. Kesenian dalam bermusik bagi bangsa Cina juga bisa menjadi media komunikasi antara pemain yang satu dengan yang lainnya. Seperti ketika Zhuge Liang dan Zhou Yu sama-sama memainkan alat musik semacam kecapi (entah apa namanya). Dalam balas-membalas nada seakan-akan mereka saling bicara. Dan yang membuatku salut sepanjang film ini adalah unsur cinta damai. Pasukan aliansi memilih berperang demi mempertahankan kedamaian, bukan semata-mata mengincar kemenangan atas kekuasaan wilayah atau demi membuktikan bahwa mereka lebih hebat daripada pasukan Cao Cao. Kekuatan serta kekuasaan diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus. Memesona, namun tidak lebih indah daripada kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang menurutku sangat bagus. Menunjukkan bahwa inti dari perang bukanlah tentang perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang menjadi korban. Dilepasnya seekor kuda peliharaan Zhou Yu dan istrinya pada scene terakhir menjadi simbol sebuah kebebasan yang membawa perdamaian.
Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini tidak sepenuhnya berdasarkan sejarah, hanya 50% saja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Kurasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Tebing Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni. Tidak melulu tentang pertumpahan darah, ambisi terhadap kekuasaan; tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan tidak monoton. Mungkin inilah yang membuat Red Cliff menjadi film kolosal yang begitu menarik dan sayang dilewatkan.
Recommended!
pic from: pangeran229.wordpress.com